BANTUL, POPULI.ID – Rencana Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa untuk mempercepat proses redenominasi rupiah menuai beragam tanggapan dari kalangan akademisi. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pakar ekonomi regional, Dr. Agus Tri Basuki menilai kebijakan tersebut merupakan langkah strategis jangka panjang untuk menciptakan efisiensi administrasi dan memperkuat kepercayaan publik terhadap nilai mata uang nasional.
“Redenominasi itu hanya mengurangi jumlah angka nol pada nominal rupiah, tetapi tidak mengubah nilai riilnya. Jadi ini bukan devaluasi. Kalau dulu Rp1.000 bisa membeli satu roti, maka setelah redenominasi Rp1 pun nilainya tetap sama, tetap bisa membeli satu roti,” jelas Agus saat ditemui di Gedung AR A UMY, Kamis (13/11/2025).
Agus menegaskan bahwa redenominasi bukan bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat, melainkan menyederhanakan sistem keuangan dan administrasi agar lebih efisien. Namun, kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instan, karena membutuhkan tahapan panjang yang bisa memakan waktu hingga satu dekade.
Menurutnya, Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan empat tahapan strategis sebelum kebijakan redenominasi benar-benar diterapkan, yaitu tahap persiapan, transisi, penarikan uang lama, dan evaluasi.
“Tahapan ini penting agar masyarakat tidak bingung dan stabilitas ekonomi tetap terjaga,” ujarnya.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan bahwa syarat utama pelaksanaan redenominasi adalah stabilitas ekonomi nasional. Hal ini mencakup pertumbuhan ekonomi yang positif, inflasi terkendali di kisaran 2–3 persen, nilai tukar yang stabil, serta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap rupiah yang kuat.
Ia juga mencontohkan keberhasilan beberapa negara seperti Turki, Vietnam, dan Korea Selatan, yang mampu melaksanakan redenominasi secara efektif karena dilakukan dalam situasi politik dan ekonomi yang stabil.
“Kalau defisit APBN masih tinggi atau inflasi belum terkendali, redenominasi bisa menimbulkan risiko baru. Karena itu, stabilitas politik, ekonomi, dan sistem perbankan adalah kunci keberhasilannya,” tegas Agus.
Agus menambahkan, langkah pemerintah untuk mempercepat rencana redenominasi perlu diimbangi dengan edukasi publik yang masif agar masyarakat memahami esensi kebijakan ini — bahwa redenominasi bukan penghapusan nilai uang, melainkan penyederhanaan sistem moneter.
“Jika seluruh elemen siap, redenominasi akan memperkuat kepercayaan publik terhadap rupiah sekaligus menciptakan efisiensi dalam sistem keuangan nasional,” pungkasnya.











