YOGYAKARTA, POPULI.ID – Jalur yang melewati bangunan ikonik Plengkung Nirbaya atau yang lebih dikenal dengan Plengkung Gading kabarnya bakal ditutup aksesnya oleh Keraton Yogyakarta.
Kabar penutupan kawasan Plengkung Gading termasuk juga area Alun-alun Kidul tersebut baru saja disampaikan Penghageng Kawedanan Hageng Datu Dana Suyasa GKR Mangkubumi.
Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X itu menjelaskan alasan penutupan Plengkung Gading tak lain merupakan bagian dari penataan kawasan Sumbu Filosofi yang baru saja ditetapkan sebagai Warisan Dunia Tak Benda oleh UNESCO pada 2023.
Jamak dikenal bangunan Plengkung Gading merupakan salah satu ikon yang menempel ketika berwisata ke Yogyakarta selain Malioboro tentunya.
Nah, berikut sejumlah fakta unik mengenai Plengkung Gading yang sebentar lagi bakal ditata Keraton Yogyakarta.
1. Nama Asli Plengkung Gading
Plengkung Gading yang terletak di selatan Alun-alun Kidul merupakan satu diantara 5 gerbang sebagai akses masuk keluar Keraton Yogyakarta.
Disitat dari laman Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Plengkung Gading memiliki nama asli Plengkung Nirbaya. Nir berarti tak ada dan Baya berarti bahaya.
Dua suku kata tersebut bila disatukan bermakna tak ada bahaya yang mengancam.
Belakangan, Plengkung Nirbaya lebih dikenal dengan nama menjadi Plengkung Gading. Hal itu lantaran lokasinya yang berada di wilayah Gading, karena itu untuk memudahkan bangunan tersebut dijuluki Plengkung Gading.
2. Sultan Dilarang Melintas
Masih mengutip sumber yang sama, Plengkung Gading merupakan satu-satunya pintu gerbang yang nyaris tak pernah dilewati oleh Raja Keraton Yogyakarta yang masih bertahta.
Banyak yang menyebut bahwa pintu tersebut terlarang bagi Sultan melintas.
Hal itu lantaran gerbang Plengkung Gading dikhususkan untuk jalur membawa jenazah raja atau sultan ketika akan disemayamkan di Makam Raja-raja Imogiri.
3. Dibangun Masa Sri Sultan HB I
Plengkung Gading dibangun bersamaan dengan dibangunnya Keraton Yogyakarta pascaperjanjian Giyanti yakni pada masa Sri Sultan HB I yang memerintah dari tahun 1755-1792.
Disamping sebagai akses masuk keluar, Plengkung Gading berfungsi sebagai pos penjagaan prajurit Keraton Yogyakarta untuk memantau pergerakan di luar benteng.
Di kemudian hari, menurut Stories of My Life karya Miley Ann Hasneni, Plengkung Gading menjadi bangunan yang paling populer bersama dengan Plengkung Tarunasura dibanding tiga plengkung lainnya.
4. Terdapat Jembatan hingga Sirine
Dari informasi yang dibagikan laman Dinas Pariwisata DIY, pada mulanya Plengkung Gading memiliki jembatan gantung yang menghubungkan antara area luar menuju gerbang masuk ke Keraton Yogyakarta.
Uniknya jembatan tersebut bisa ditarik ke atas dan berfungsi sebagai pelindung akses masuk ke gerbang menuju Keraton Yogyakarta bila tetiba musuh berupaya masuk.
Di bawah jembatan tersebut terdapat parit yang memisahkan wilayah benteng keraton dengan wilayah luar.
Ukuran paritnya memiliki lebar 10 meter dengan kedalaman 3 meter. Tapi pada 1935, parit tersebut dikubur dan berubah menjadi jalan.
Selain terdapat jembatan gantung, Plengkung Gading juga dahulu memiliki menara sirine.
Sirine tersebut dibunyikan hanya dalam momentum sakral diantaranya ketika 17 Agustus dalam agenda mengingat detik-detik proklamasi. Kemudian selain itu dibunyikan selama Ramadan sebagai penanda buka puasa.
5. Nyaris Dibongkar
Nasib Plengkung Gading nyaris tinggal kenangan apabila Dinas Purbakala asal Belanda Dr. F.D.K Bosch tak berkirim surat memohon agar bangunan tersebut tetap dilestarikan.
Bosch pada 2 Maret 1935 mengirim surat kepada Gubernur Jogja Johannes Bijleveld yang kemudian diteruskan ke Patih Danurejo agar tak dibongkar seperti halnya Plengkung Jagasura Ngasem serta Jagabaya yang terletak di sisi barat Tamansari.