YOGYAKARTA, POPULI.ID – Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di Yogyakarta barangkali kerap mendengar istilah Sangkan Paraning Dumadi. Kalimat yang sangat lekat dengan filosofi Keraton Yogyakarta itu bahkan dalam beberapa kesempatan tak jarang dikutip oleh para politisi tanah air, salah satunya mantan Presiden Soeharto.
Lalu apa itu Sangkan Paraning Dumadi?
Tujuan Hidup
Konsep Sangkan Paraning Dumadi dalam riwayatnya telah ada jauh sebelum dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga ketika masa penyebaran agama Islam di tanah Jawa tepatnya ketika berdirinya Kerajaan Demak.
Sangkan Paraning Dumadi merupakan salah satu konsep yang lahir dari kebudayaan Jawa tentang hidup untuk mencapai kesempurnaan.
Sangkan Paraning Dumadi berdasar maknanya yakni asal dan tujuan hidup manusia. Dimana manusia itu harus mengetahui dari mana asal segala sesuatu yang hidup dan harus kemana tujuan segala sesuatu yang hidup itu.
Franz Magnis-Suseno menyebut konsep Sangkan Paraning Dumadi sebagai inti kebijaksanaan mistik Jawa. Dalam pengertiannya manusia harus sampai pada sumber hidupnya yakni Tuhan bila ia ingin mencapai kesempurnaan.
Tercatat dalam Berbagai Serat
Dikutip dari I Kuntara Wiryamartana berjudul Arjuna Wiwaha: Transformasi Teks Jawa Kunu Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa (1990), konsep ini pertama kali muncul pada pupuh X dalam kakawin Arjuna Wiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Erlangga (1019-1042).
Konsep Sangkan Paraning Dumadi juga muncul dalam sejumlah serat di antaranya Wedhatama.
Dalam tulisan Seno Sastroamidjojo di buku berjudul Wedhatama (1961), di dalam serat ini Sangkan Paraning Dumadi disebutkan lewat istilah purwa yakni wekasing jagad raya atau awalan, kemudian akhirnya alam semesta seisinya.
Konsep yang lahir dari rahim kebudayaan Jawa ini mengandung nilai religi yang tinggi dan bersifat universal.
Tak heran bila kemudian konsep ini banyak diadopsi di berbagai serat termasuk di dalam naskah Islam kejawen seperti Serat Dewa Ruci, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Centini serta Serat Wulangreh.
Sekaten dan Sumbu Filosofi
Di masa awal persebaran agama Islam di Jawa yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Demak, Sunan Kalijaga menggunakan konsep Jawa tersebut sebagai sarana dakwah sesuai dengan napas-napas keislaman.
Konsep itu oleh Sunan Kalijaga dimanifestasikan melalui tradisi membunyikan gamelan di peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal.
Tradisi ini yang kemudian jamak dikenal dengan tradisi Sekaten yang hingga kini masih dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta.
Tak hanya Sekaten, oleh Keraton Yogyakarta konsep Sangkan Paraning Dumadi juga diwujudkan dalam produk tata ruang keraton.
Dari sejumlah sumber sejarah, sumbu filosofi dibangun pada abad ke-18. Ide itu dicetuskan oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I.
Tiga titik tata ruang yang mewakili sumbu filosofi tersebut yakni Tugu Pal Putih, Keraton Yogyakarta hingga Panggung Krapyak.