JATENG, POPULI.ID – Walau kental dengan tradisi dan budaya Jawa, konon penghuni pertama yang menetap di Kota Solo bukanlah dari suku Jawa. Etnis tionghoa disebut-sebut merupakan kelompok pertama yang menempati wilayah yang dahulunya merupakan sebuah desa kecil. Mereka bahkan dikabarkan mendiami wilayah Solo jauh sebelum berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta.
Migrasi etnis Tionghoa ke Solo diperkirakan terjadi pada awal 1700-an. Saat itu, Desa Sala, cikal bakal Kota Solo, menjadi jalur perdagangan penting. Para migran Tionghoa tiba melalui pelabuhan Semanggi, menyusuri Kali Pepe menuju Desa Sala. Keberadaan pelabuhan seperti Kabanaran dan Penjalang menguatkan dugaan bahwa jalur air menjadi rute utama mereka memasuki Solo.
Kelenteng Tien Kok Sie, yang kini berdiri megah di kawasan Pasar Gede, menjadi bukti historis kedatangan mereka. Kelenteng ini memuja dewa penguasa lautan, mencerminkan asal-usul mereka dari Provinsi Fujian, Tiongkok. Meski Solo tidak berbatasan langsung dengan laut, keyakinan ini menegaskan peran jalur air sebagai jalur utama migrasi mereka.
Komunitas Tionghoa di Solo awalnya menetap di Kampung Balong dan Coyudan. Kampung Balong dihuni oleh masyarakat kelas menengah dan bawah yang bekerja sebagai pedagang kelontong, buruh industri, hingga pembatik. Nama “Balong” diyakini berasal dari pelafalan “barangan,” teriakan para pedagang yang berkeliling menjajakan barang dagangan.
Sementara itu, masyarakat Tionghoa kelas atas menetap di Coyudan, yang menjadi pusat aktivitas perdagangan. Kawasan ini berkembang menjadi daerah elit dengan toko-toko besar yang dimiliki oleh pedagang kaya.
Hingga saat ini, jejak keberadaan etnis Tionghoa di Solo tetap terlihat, terutama di kawasan Pasar Gedhe dan Kelenteng Tien Kok Sie. Peninggalan ini menjadi simbol harmoni budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Kisah ini menjadi bukti bahwa sejak awal Kota Solo telah menjadi melting pot budaya, di mana berbagai etnis dan tradisi bertemu, saling memengaruhi, dan membentuk identitas kota yang kita kenal hari ini.