YOGYAKARTA, POPULI.ID – Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, terdapat sebuah kebijakan yang cukup kontroversial, tapi memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di Indonesia.
Kebijakan tersebut dikenal dengan nama Politik Etis atau Politik Balas Budi. Diberlakukan pemerintah kolonial Belanda dan banyak merugikan masyarakat pribumi, Politik Etis mengawali sejarah pergerakan nasional pada zaman penjajahan Belanda.
Pengertian Politik Etis
Politik Etis dalam bahasa Belanda disebut Ethische Politiek. Ini merupakan kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901 buntut panjang dari kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel.
Secara sederhana, Politik Etis dapat diartikan sebagai kebijakan balas budi untuk mengganti kerugian masyarakat Indonesia saat itu atas eksploitasi yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda melalui sistem tanam paksa.
Latar Belakang Politik Etis
Politik Etis muncul setelah adanya kritik dari sejumlah politikus hingga intelektual Belanda yang menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kondisi masyarakat pribumi yang terbelakang dan menderita akibat kebijakan kolonial yang eksploitatif.
Tokoh seperti Conrad Theodore van Deventer melalui esainya Een Eereschuld yang dimuat di majalah De Gids, menjadi salah satu pemicu utama. Ia menekankan bahwa Belanda memiliki utang budi kepada Hindia Belanda yang harus dibayar.
Dengan adanya kritik dari para politikus dan intelektual tersebut, akhirnya pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan Politik Etis sebagai bentuk balas budi untuk masyarakat pribumi.
Tujuan dari Politik Etis ini adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat pribumi selama masa pendudukan pemerintahan kolonial Belanda, desentralisasi politik, dan efisiensi.
Isi Kebijakan Politik Etis
Politik Etis diresmikan oleh Ratu Wilhelmina pada pidato pembukaan parlemen Belanda tahun 1901. Kebijakan ini memiliki tiga pilar utama yang dikenal dengan istilah Trias Van Deventer. Ketiga pilar tersebut adalah sebagai berikut.
1. Irigasi atau pengairan, yakni usaha perbaikan dan pembangunan sistem pengairan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, khususnya di Jawa.
2. Edukasi atau pendidikan, yakni upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia pribumi melalui penyelenggaraan pendidikan formal.
3. Emigrasi atau perpindahan penduduk, yakni program pemindahan penduduk dari daerah padat penduduk seperti Jawa ke daerah lain yang lebih jarang penduduknya.
Implementasi Politik Etis di Indonesia
Implementasi Politik Etis di Indonesia memberikan dampak yang beragam. Berikut adalah beberapa contoh konkretnya.
1. Irigasi: pembangunan jaringan irigasi besar seperti Waduk Jatiluhur, irigasi di daerah Cirebon, dan sistem pengairan di berbagai wilayah pertanian di Jawa, dan perbaikan saluran-saluran irigasi yang sudah ada untuk meningkatkan efisiensi pengairan.
2. Edukasi: pendirian sekolah-sekolah untuk kaum pribumi meliputi Sekolah Rakyat (SR), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), Sekolah Teknik, Sekolah Pertanian, Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS), dan masih banyak lagi.
3. Emigrasi: Program kolonisasi atau transmigrasi penduduk dari Jawa ke daerah-daerah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Contohnya adalah pembukaan lahan pertanian di Sumatera Timur.
Dampak Politik Etis
Dampak positif dari kebijakan Politik Etis meliputi kemajuan di bidang pendidikan, peningkatan infrastruktur pertanian, pengembangan infrastruktur, dan mulai munculnya rasa nasionalisme.
Sementara itu, dampak negatif Politik Etis mencakup implementasi yang kurang merata, adanya tujuan terselubung, diskriminasi dalam pendidikan bagi masyarakat pribumi kalangan bawah, eksploitasi tenaga kerja di proyek irigasi, serta timbulnya masalah sosial dan konflik antara penduduk asli dan pendatang yang beremigrasi.
Akhir Politik Etis
Politik Etis secara bertahap mulai ditinggalkan sekitar tahun 1914. Ketika itu, banyak masyarakat pribumi yang mulai bergerak dan mengkritik kebijakan ini yang dinilai gagal di akhir tahun Perang Dunia I.