SLEMAN, POPULI.ID = Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XXI/2023 terkait dengan Pendidikan gratis bagi pelajar SD dan SMP baik sekolah negeri maupun swasta belum sepenuhnya dirasakan dampaknya oleh masyarakat Sleman.
Di RW 20 Mrican dan Padukuhan Sanggrahan, Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, sejumlah warga mengaku masih terbebani biaya pendidikan, termasuk untuk jenjang SD dan SMP yang seharusnya digratiskan berdasarkan putusan MK tersebut.
“Enggak tuh, ya masih kayak gini lah. Sekolah ya tetap bayar, belum ada bantuan,” ujar Niken (35), warga Mrican.
Ia mengatakan hingga kini belum menerima bantuan pendidikan apa pun untuk kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD dan SMP.
Niken bahkan sempat mendatangi sekolah anaknya yang berstatus SMP swasta untuk menanyakan rincian tagihan. Namun, ia justru mendapat respons yang mengecewakan dari pihak sekolah.
“Saya lihat tagihannya banyak, Mbak. Saya tanya, malah gurunya ngomel. Katanya ‘ini sudah prosedur’. Lah, katanya sekolah gratis?” keluhnya.
Hal serupa disampaikan Sigit (41), warga Mrican lainnya, yang merasa implementasi kebijakan pendidikan gratis berjalan sangat lambat.
Menurutnya, pendidikan dasar semestinya menjadi hak yang dijamin tanpa beban biaya, apalagi bagi keluarga prasejahtera.
“Saya sering bilang, pendidikan itu nomor satu. Tapi kenyataannya ya begini. Masih harus bayar, masih bingung tiap awal semester. Uangnya dari mana? Nggak mungkin jual tanah,” ujarnya.
Di Padukuhan Sanggrahan, Nurhayati (38) juga mempertanyakan realisasi putusan MK, terutama bagi anaknya yang menempuh pendidikan di SMP swasta.
“Anak saya yang SMP masih bayar semua. Belum ada info gratis, belum ada pemberitahuan bantuan. Katanya sekolah gratis, tapi kenyataan enggak sesuai,” ungkapnya.
Nurhayati menilai bahwa kebijakan saja tidak cukup. Ia menekankan perlunya pengawasan dan pelaksanaan langsung di lapangan agar bantuan pendidikan tepat sasaran.
“Kalau memang ada bantuan, ya bantuannya harus tepat sasaran. Ditinjau langsung. Jangan sampai kayak sekarang, yang mampu malah dapat, yang benar-benar butuh malah enggak kebagian,” ujarnya.
Ia menambahkan, tidak sedikit warga di lingkungannya yang terpaksa menyekolahkan anak ke swasta karena sekolah negeri penuh, namun akhirnya kesulitan membayar biaya.
“Sekolah negeri penuh, swasta mahal. Boro-boro mikir buku atau seragam, buat makan saja pas-pasan. Anak-anak akhirnya berhenti sekolah, bantu orang tua kerja,” tutur Nurhayati.
Selain soal pendidikan, warga juga menyoroti minimnya perhatian terhadap kelompok lanjut usia (lansia). Slamet (46), warga Sanggrahan, menyebut bahwa program bantuan lansia sempat didata namun tidak jelas kelanjutannya.
“Lansia juga belum ada tindak lanjutnya. Dulu sempat didata, tapi setelah itu hilang kabar. Padahal banyak orang tua di sini yang hidup sendiri, enggak punya penghasilan,” ungkapnya.
Ia menggambarkan kondisi masyarakat saat ini seperti “sumur kering”, karena bantuan sosial yang minim dan tidak menentu.
“Biasanya ada bantuan sembako, sekarang enggak. Uang juga belum ada. Sekolah anak tetap harus bayar. Bantuan terakhir juga pengajuan tahun 2024, tapi cairnya belum jelas,” tambahnya.
Putusan MK sejatinya menjadi harapan baru bagi keluarga-keluarga prasejahtera agar anak-anak mereka tetap bisa mengakses pendidikan dasar tanpa hambatan ekonomi.
Namun, realitas di Mrican dan Sanggrahan menunjukkan bahwa celah antara kebijakan dan pelaksanaan masih sangat lebar.
“Jangan cuma diputuskan di atas. Kami butuh tindakan nyata. Jangan sampai orang tua disalahkan kalau anaknya putus sekolah. Pemerintah harus hadir,” tegas Niken.