SLEMAN, POPULI.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan dasar 9 tahun, baik di sekolah negeri maupun swasta, menuai respons beragam dari para guru.
Di balik semangat besar untuk membuka akses pendidikan bagi semua anak bangsa, para pendidik justru diliputi kekhawatiran: apakah mereka akan ikut diperjuangkan dalam kebijakan ini?
Bagi sebagian guru, keputusan MK merupakan kemenangan konstitusional bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan besar: apakah negara siap menanggung konsekuensi logistik dan finansialnya, terutama bagi sekolah-sekolah swasta dan berbasis komunitas yang selama ini hidup dari iuran siswa?
Trisna, guru di sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Bantul, menyambut baik putusan MK. Ia melihatnya sebagai langkah maju dalam menciptakan keadilan sosial.
“Banyak siswa kami berasal dari keluarga ekonomi lemah. Kalau pendidikan digratiskan, itu sangat meringankan beban mereka,” ujarnya saat dihubungi populi.id, Minggu (1/6/2025).
Namun Trisna menekankan, semangat keadilan untuk siswa tak boleh melupakan hak guru.
Ia khawatir jika negara tidak hadir dalam pembiayaan, maka guru di sekolah swasta bisa menjadi korban.
“Guru juga manusia. Kalau semua gratis, siapa yang menjamin operasional sekolah dan upah kami?” tambahnya.
Nada skeptis datang dari Siswanti, guru honorer di SD Negeri 5 Sleman.
Ia menilai kebijakan ini berpotensi memperburuk kondisi para pendidik, terutama yang belum diangkat sebagai ASN.
“Banyak guru honorer masih digaji di bawah UMR. Kalau sekolah dilarang menarik dana tambahan dari orang tua, siapa yang akan menutup selisih biaya operasional?” tanyanya.
Ia juga menyinggung ketimpangan sarana dan prasarana antarwilayah yang belum merata.
“Semangatnya bagus, tapi kalau infrastrukturnya belum siap, ini bisa jadi beban baru bagi sekolah,” imbuhnya.
Sementara itu, guru berinisial Y yang mengajar di SMP swasta di Sleman mengkritik keputusan MK tersebut.
Ia merasa sekolah swasta dipaksa menyesuaikan diri dengan kebijakan besar tanpa sokongan nyata dari negara.
“Kami menggaji guru dan menjalankan operasional dari iuran siswa. Kalau sebagian siswa digratiskan tapi tidak ada ganti dari pemerintah, ini akan menciptakan ketimpangan antar sekolah swasta,” ujarnya.
Ia menekankan, selama ini sekolah swasta turut membantu mencerdaskan bangsa, namun seringkali luput dari perhatian negara.
“Ketika ada kebijakan strategis, kami dituntut berubah, tapi dukungan konkret minim. Ini rawan mematikan sekolah-sekolah kecil yang selama ini mandiri,” jelasnya.
Putusan MK pada Selasa (27/5/2025) menguatkan hak pendidikan gratis selama 9 tahun, termasuk di sekolah swasta.
Gugatan ini dikabulkan sebagian oleh MK setelah diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga individu: Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
MK menyatakan bahwa meskipun Undang-Undang Dasar 1945 tidak mendefinisikan secara rinci pendidikan dasar, UU Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan jenjang SD hingga SMP (termasuk MI/MTs dan sederajat) merupakan bagian dari wajib belajar 9 tahun.
Namun, implementasinya selama ini lebih berpihak pada sekolah negeri.
Kini, pemerintah tengah menelaah putusan tersebut.
Tapi waktu terus berjalan, dan di lapangan, para guru menanti kepastian.
Mereka berharap kebijakan ini tidak hanya menyasar murid, tapi juga memberi jaminan bagi kesejahteraan guru dan kelangsungan sekolah.
“Kalau ingin gratis, semua pihak harus dilibatkan—murid, guru, sekolah. Harus jadi sistem yang adil dan berkelanjutan,” pungkas Trisna.