SLEMAN, POPULI.ID – Usulan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) untuk menaikkan batas usia pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga 70 tahun menuai sorotan tajam.
Meski dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan keahlian dan meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri, sejumlah pakar justru menilai langkah tersebut berisiko memperberat beban fiskal dan menghambat regenerasi birokrasi.
Permintaan resmi telah diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto, Ketua DPR RI Puan Maharani, serta Menteri PAN-RB Rini Widyantini.
Korpri beralasan bahwa ASN dengan keahlian khusus sebaiknya bisa berkontribusi lebih lama.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Subarsono.
Menurutnya, usulan tersebut tidak sejalan dengan situasi ekonomi dan sosial saat ini.
“Kita sedang menghadapi tekanan anggaran, dan Presiden sendiri mendorong efisiensi belanja di kementerian dan daerah. Mengajukan usulan semacam ini di tengah situasi seperti itu jelas tidak tepat,” ujar Subarsono, dilansir dari ugm.ac.id, Rabu (11/6).
Ia menambahkan, bila batas usia pensiun diperpanjang drastis, hal itu justru bisa memperbesar beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebagai pembanding, Subarsono menyebut sejumlah negara ASEAN.
Di Vietnam dan Thailand, usia pensiun PNS masing-masing berada di kisaran 60 hingga 61 tahun, padahal PDB per kapita mereka relatif tidak jauh dari Indonesia.
“Dengan populasi besar dan PDB per kapita yang belum tinggi, Indonesia seharusnya lebih berhati-hati. Jangan sampai niat mempertahankan tenaga ahli justru membuat ruang fiskal negara makin sempit,” tegasnya.
Tak hanya dari sisi ekonomi, Subarsono juga meragukan efektivitas kebijakan tersebut untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Menurutnya, pelayanan yang optimal bukan semata-mata bergantung pada usia, tapi lebih pada kompetensi, pemanfaatan teknologi, dan orientasi melayani publik.
“Yang dibutuhkan adalah perubahan pola pikir ASN. Dari mentalitas penguasa menjadi pelayan masyarakat. Bukan sekadar memperpanjang masa kerja,” ungkapnya.
Dari perspektif sosial, perpanjangan usia pensiun dinilai berpotensi menutup kesempatan bagi generasi muda untuk masuk ke birokrasi.
Dengan populasi usia produktif yang tinggi, peluang menjadi ASN menjadi harapan banyak anak muda.
Jika usia pensiun diperpanjang hingga 70 tahun, proses regenerasi bisa terganggu dan menciptakan stagnasi di tubuh birokrasi.
Meski begitu, jika pemerintah tetap mempertimbangkan usulan tersebut, Subarsono menyarankan agar kebijakan dilakukan secara bertahap.
“Misalnya, mulai tahun 2026, usia pensiun ditambah setahun, lalu bertambah lagi di tahun berikutnya, seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.
Ia pun menutup dengan imbauan agar pemerintah menunda terlebih dahulu implementasi wacana ini sampai kondisi ekonomi benar-benar siap.
“Kebijakan publik tak bisa menyenangkan semua pihak. Tapi yang pasti, ia tidak boleh menjerumuskan negara ke jurang beban anggaran yang lebih dalam,” tandasnya.