YOGYAKARTA, POPULI.ID – Di tengah ancaman penggusuran yang kian dekat, warga Tegal Lempuyangan, Yogyakarta, mengajukan permintaan sederhana namun sarat makna.
Warga meminta waktu tambahan hingga 17 Agustus untuk merayakan Hari Kemerdekaan terakhir di tanah kelahiran mereka.
Permintaan itu disampaikan menyusul akan habisnya masa berlaku Surat Peringatan Ketiga (SP3) dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada Kamis, 19 Juni 2025.
Warga mengajukan penundaan eksekusi demi memperingati Agustusan, tradisi tahunan yang bagi mereka bukan sekadar pesta rakyat, tapi simbol ikatan, sejarah, dan identitas kampung yang telah mereka huni selama puluhan tahun.
“Ini permintaan terakhir kami. Bukan untuk menggagalkan penggusuran, hanya menundanya sebentar saja—sampai kami bisa mengibarkan Merah Putih bersama untuk yang terakhir kalinya di sini,” ujar Fokki Ardiyanto, Juru Bicara Warga Tegal Lempuyangan.
Lebih dari sekadar sengketa lahan, perlawanan warga Tegal Lempuyangan kini mengusung nilai kemanusiaan. Muhammad Raka Ramadhan dari LBH Yogyakarta yang mendampingi warga menyebut, permintaan ini melampaui batas hukum.
“Kami tidak sedang bicara soal aturan lagi. Ini soal rasa. Soal kemanusiaan,”kata Raka.
Ia menyoroti banyaknya warga lanjut usia yang dulu pernah mengabdi di PT KAI, namun kini justru diusir dari rumah yang mereka rawat selama puluhan tahun.
“Apakah pantas mereka diperlakukan seperti ini?” tanyanya.
Warga hanya meminta waktu sebulan sebelum mereka harus pergi.
“Kalau palilahan-nya masih berlaku sampai Oktober, kenapa tidak bisa menunggu Agustus selesai?” lanjut Fokki, mengacu pada status hukum tanah.
Bagi warga Lempuyangan, Agustusan bukan sekadar upacara rutin. Ia adalah peneguhan identitas, pengingat janji kemerdekaan: bahwa setiap warga negara berhak atas tempat tinggal yang layak.
Maka ketika hak itu dipertanyakan, warga berharap negara—dalam hal ini PT KAI dan Keraton Yogyakarta—tidak menutup mata.
Fokki menyebut bahwa kompensasi yang ditawarkan sejauh ini, sekitar Rp103 juta, jauh dari cukup untuk membeli rumah layak huni.
“Ini bukan hanya soal angka. Ini soal hak konstitusional kami. Kalau warga dipindahkan, ya harus disediakan tempat tinggal yang sepadan,” tegasnya.
Ia pun berharap Keraton Yogyakarta tidak sekadar diam menyaksikan warganya kehilangan tempat tinggal.
“Keraton itu simbol pengayom. Warga berharap ada keberpihakan moral dari sana,” tambah Fokki.
Meski sebelumnya telah mengajukan surat keberatan atas SP1, SP2, hingga SP3, pihak KAI tak merespon. Maka hari ini, warga mendatangi langsung PT KAI untuk membuka ruang dialog.
“Kami yang inisiasi pertemuan ini. Karena kami percaya, masih ada ruang untuk bicara sebagai sesama manusia,”kata Raka.
PT KAI telah menerima tuntutan warga dan menyatakan akan menyampaikannya ke manajemen pusat di Bandung. Namun hingga tenggat SP3 berakhir, warga masih menunggu jawaban yang mereka harapkan menjadi titik terang.
Raka menegaskan bahwa permintaan sederhana ini bisa menjadi cermin.
“Kalau satu permintaan kecil ini saja tidak bisa dipenuhi, maka beginilah potret wajah Yogyakarta hari ini—di hadapan rakyatnya sendiri,” ucapnya.