BANTUL, POPULI.ID – Belakangan ini, kasus keracunan akibat konsumsi suplemen vitamin dosis tinggi kembali mencuat. Salah satu yang ramai diperbincangkan adalah kasus di Australia, yang melibatkan dua produk terkenal dari merek Blackmores, yakni Blackmores Super Magnesium+ dan Blackmores Ashwagandha+. Kedua suplemen tersebut diduga mengandung vitamin B6 dalam dosis tinggi yang berpotensi menimbulkan efek toksik.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa semakin banyak vitamin dikonsumsi, maka tubuh akan semakin sehat. Padahal, konsumsi suplemen secara berlebihan, terutama yang berbahan sintesis justru berisiko menimbulkan gangguan kesehatan serius.
Pakar Kedokteran Keluarga dan Kesehatan Global Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dr. April Imam Prabowo, DTMH, MFM(Clin), menegaskan bahwa tubuh manusia memang membutuhkan 13 jenis vitamin esensial: vitamin A, C, D, E, K, serta delapan jenis vitamin B (B1 hingga B12). Namun, cara tubuh menyerap dan menyimpannya berbeda-beda.
“Vitamin A, D, E, dan K bersifat larut lemak, sehingga kelebihannya akan disimpan dalam hati, jaringan lemak, dan otot untuk waktu yang lama. Sementara vitamin B dan C larut dalam air, sehingga kelebihannya umumnya akan dikeluarkan melalui urine, kecuali B12 yang dapat disimpan dalam hati hingga bertahun-tahun,” jelasnya dikutip dari laman UMY, Sabtu (26/7/2025).
Masalah muncul ketika seseorang mengonsumsi vitamin sintetis dalam dosis berlebih, khususnya vitamin B6. Tubuh tidak mampu membuang vitamin B6 sintetis secara efisien seperti halnya vitamin B6 alami.
“Kebutuhan harian vitamin B6 untuk orang dewasa hanya sekitar 1,3 hingga 1,7 mg. Namun, ada suplemen yang mengandung puluhan kali lipat dari angka tersebut,” ujarnya.
Penumpukan vitamin B6 sintetis yang berlebihan dapat memicu gangguan sistem saraf tepi. Jika vitamin B6, yang larut air, saja bisa menyebabkan kerusakan, maka akumulasi vitamin A, D, E, dan K, yang larut lemak, berisiko lebih besar karena disimpan lebih lama dalam tubuh.
Fakta ini membuktikan bahwa konsumsi vitamin tidak bisa dilakukan sembarangan. Prinsip “lebih banyak lebih baik” hanya berlaku untuk makanan alami, bukan untuk suplemen sintetis. Jika prinsip ini diterapkan tanpa indikasi medis, justru dapat memicu gangguan metabolik yang membahayakan.
dr. April menilai bahwa kasus overdosis suplemen tidak selalu murni kesalahan pengguna. Terkadang, produk multivitamin dirancang dengan dosis tinggi tanpa edukasi yang memadai dari produsen.
“Sumber terbaik vitamin tetap dari makanan alami. Pola makan seimbang dan bervariasi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh,” tegasnya.
Menurutnya, suplemen seharusnya hanya digunakan sebagai tambahan dalam kondisi khusus, seperti saat hamil atau ketika seseorang mengalami defisiensi tertentu. Jika tidak, suplemen justru hanya akan menjadi ‘urine mahal’, karena dibuang tanpa dimanfaatkan tubuh.
Sebagai langkah pencegahan, dr. April mengimbau masyarakat untuk mengikuti anjuran Cek KLIK dari BPOM (Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli produk suplemen. Ia juga menekankan pentingnya berhati-hati terhadap produk tanpa izin edar.
“Jika merasa ragu, segera konsultasikan dengan tenaga kesehatan. Jangan ragu juga untuk melaporkan produk mencurigakan melalui layanan HALOBPOM 1500533,” imbuhnya.
Terkait regulasi, ia menekankan perlunya pengawasan ketat dari pemerintah terhadap produk suplemen di pasaran. Produsen harus tunduk pada batasan dosis berbasis bukti ilmiah, serta mencantumkan peringatan yang jelas pada produk dengan kandungan tinggi.
“Saya rasa perlu ada survei nasional berkelanjutan untuk memantau pola konsumsi suplemen di masyarakat. Kita bisa belajar dari kasus di Australia, bahwa regulasi yang kuat pun bisa melemah jika pengawasan dan edukasi publik tidak berjalan seimbang,” pungkasnya.