YOGYAKARTA, POPULI.ID – Penetapan batas kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar Rp609 ribu per bulan atau setara dengan Rp20 ribu per hari menuai sorotan tajam dari masyarakat kecil, terutama mereka yang hidup di perkotaan dengan beban biaya hidup yang terus meningkat.
Misalnya dikatakan Sigit Trianto, penjual kopi keliling yang sehari-hari mangkal di sekitar Jalan Kenari, Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Pria asal Banguntapan, Bantul, itu mengaku kaget sekaligus bingung dengan batas yang ditetapkan pemerintah.
Menurutnya, dengan pengeluaran sebesar itu, hidup layak hanyalah ilusi.
“Kalau makan satu kali aja bisa habis Rp10 sampai Rp20 ribu. Saya sendiri sering nggak makan pagi dan siang. Sekali makan paling nasi sayur, gorengan, dan air es,” tutur Sigit, saat ditemui, Rabu (30/7/2025).
Sigit menyebut penghasilan dari berjualan kopi hanya cukup untuk menyambung hidup sehari-hari.
Sementara, kebutuhan rumah tangga, termasuk susu dan popok untuk anaknya yang baru berusia tiga tahun, kini bergantung pada penghasilan sang istri.
“Rp20 ribu sehari itu bukan ukuran mampu. Sekarang semua serba mahal, apalagi punya anak kecil,” ujarnya.
Yang membuatnya semakin miris, menurut Sigit, bantuan sosial dari pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH) sering kali tidak menyentuh orang-orang seperti dirinya.
Ia menyebut banyak warga dengan kondisi ekonomi lebih baik justru menerima bantuan.
“Saya lihat ada yang dapat PKH, tapi rumahnya bagus, usahanya jalan, bahkan datang ngambil bantuan naik Nmax atau PCX. Sedangkan saya yang pas-pasan malah nggak dapat,” keluhnya.
Namun, di tengah ketimpangan itu, Sigit mengaku tetap bekerja keras demi anak semata wayangnya.
“Yang penting anak saya bahagia. Umurnya baru tiga tahun, lagi lucu-lucunya,” katanya dengan senyum tipis.
Senada dengan Sigit, Iksan seorang buruh serabutan dari Kemantren Pakualaman juga mempertanyakan standar kemiskinan yang dikeluarkan BPS.
Dengan pengeluaran harian mencapai Rp50 ribu, secara angka, dirinya tak lagi tergolong miskin. Namun realita kehidupannya berbicara lain.
“Kalau Rp50 ribu sehari dianggap orang kaya, coba aja survei langsung ke rumah saya,” ujarnya.
Iksan kini tinggal menumpang di rumah milik kakak iparnya. Sudah 20 tahun ia menetap di sana usai gagal dalam program transmigrasi.
Untuk menutup kebutuhan hidup, ia kerap meminjam motor saudara agar bisa narik ojek online.
“Kalau sakit itu repot. Meski BPJS ada, tetap aja harus keluar biaya, apalagi kita nggak kerja pas sakit. Nggak ada pemasukan,” katanya.
Dengan penuh harap, Iksan berharap pemerintah bisa turun langsung ke lapangan, melihat dan mendengar sendiri bagaimana kerasnya hidup di balik angka-angka statistik.
“Jangan cuma dilihat dari pengeluarannya. Lihat juga bagaimana kondisinya, tempat tinggalnya, kesehatannya, itu semua saling terkait,” pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan garis kemiskinan Indonesia hingga Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan.
Besaran garis kemiskinan ini berdasarkan perhitungan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Maret 2025.
Dengan perhitungan Rp 609.160 per kapita per bulan, maka pengeluaran rata-rata per hari sebesar Rp 20.305.
Jika dirinci, share pengeluaran makanan mencapai Rp 454.299 per kapita per bulan dan sisanya Rp 154.861 per kapita per bulan merupakan pengeluaran non-makanan.
(populi.id/Hadid Pangestu)