SLEMAN, POPULI.ID – Adanya pemberlakuan royalti pemutar musik di ruang publik membuat resah sejumlah pelaku usaha cafe dan resto di Sleman.
Supervisor Ling Lung Cafe Aditya Nurcahyo menyampaikan langkah tersebut merugikan bagi pelaku usaha meskipun tidak dalam jumlah besar.
“Jadi sebetulnya merugikan. Karena kalau kafe dan resto akan lebih enjoy jika ada iringan musik,” katanya saat diwawancarai pada Minggu (3/8/2025) petang.
Tidak hanya lagu-lagu dalam negeri, pihaknya mengaku juga tidak berani memutar musik dari luar negeri, pihaknya berkaca pada kasus pemutaran musik royalty di salah satu tempat usaha di Bali yang membuat salah satu pengelola tersandung pidana.
“Kalau untuk itu (lagu barat) ada juga di Indonesia sejenis lembaga nya (melakukan advokasi). Itu kejadian di Mie Gacoan Bali. Ada beberapa lagu dari barat ada Katy Perry, takutnya di sini kalau diputar kena juga,” katanya.
Ia menyampaikan bahwa dengan adanya kewajiban royalti terhadap pemutaran lagu di tempat komersil tidak sesuai dengan fungsi lagi sendiri sebagai hiburan untuk didengarkan.
“Kurang masuk kalau bagi saya,” katanya.
Ia menyampaikan bahwa batasan tersebut tidak berdampak besar pada penurunan omset usaha.
“Kalau disini musik nggak terlalu berpengaruh, karena marketnya mahasiswa, mereka cari yang ada tempat luas,” katanya.
Kendati begitu, sementara waktubpihaknya mengaku tidak akan memutar musik, termasuk saat penampilan live musik yang diadakan setiap akhir pekan sebelum adanya kepastian hukum.
Tak Pengaruhi Pariwisata Sleman
Sementara itu, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata (Dispar) Sleman Kus Endarto menyampaikan bahwa pembatasan pemutaran hanya untuk musik beroyalti tidak berpengaruh kepada kondisi pariwisata.
“Orang akan tetap datang ke resto atau menginap di hotel, meskipun tidak ada musik yang disetel,” ujarnya.
“Karena tujuan ke hotel pastinya menginap dan tujuan ke resto pastinya makan. Kalau hanya mendengarkan lagu, bisa dilakukan sendiri,” katanya.
Sebelumnya, buntut atas tuntutan pidana terhadap Mie Gacoan yang tak membayar royalti terkait lagu yang diputar di gerai mereka baik di Jawa maupun Bali memicu pro kontra di kalangan masyarakat.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM awal pekan lalu memberikan pernyataannya soal ribut-ribut royalti tersebut.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Agung Damarsasongko menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik termasuk kafe, restoran hongga hotel wajib membayar royalti kepada pencipta serta pemilik hak terkait.
Aturan tersebut berlaku meski pelaku usaha telah berlangganan layanan musik digital seumpama YouTube, Spotify atau bahkan Apple Music.
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembagan Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
(populi.id/Hadid Pangestu)