BANTUL, POPULI.ID – Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) baru-baru ini mengeluarkan aturan kontroversial menjelang Pemilu 2029, yakni tidak akan mempublikasikan berkas pencalonan presiden dan wakil presiden kepada publik. Aturan ini menuai pro dan kontra.
Namun menurut Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus mantan Ketua Bawaslu RI periode 2008–2012, Bambang Eka Cahya Widodo persoalan utama bukan terletak pada transparansi KPU, melainkan pada kegagalan fundamental partai politik dalam melakukan seleksi kader.
Melansir hasil wawancara di laman UMY, Selasa (16/9/2025), Bambang menegaskan transparansi memang penting, tetapi tidak akan berarti banyak jika partai politik, sebagai pintu utama pencalonan, tidak melakukan penyaringan calon secara serius.
“Ini yang tidak pernah dilakukan partai politik. Makanya sembarang orang bisa duduk di gedung DPR tanpa pengalaman, tanpa pengetahuan yang cukup, tanpa keahlian yang jelas. Yang penting bisa joget-joget,” ujarnya.
Gagal Seleksi Kader, Muncul Figur Tanpa Kapasitas
Bambang menyoroti bahwa kegagalan paling mendasar dalam sistem politik Indonesia adalah lemahnya proses seleksi kader partai politik. Ia membandingkan dengan era Orde Baru, di mana seorang pejabat harus memenuhi empat kriteria: Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak Tercela (PDLT). Kriteria ini, menurutnya, hilang setelah era reformasi.
“Setelah reformasi malah yang terjadi konyol, sekonyol-konyolnya. Mantan koruptor, mantan maling, semua tetap dapat kesempatan yang sama,” kritiknya.
Bambang juga menilai bahwa undang-undang pemilu saat ini justru membuka peluang bagi figur bermasalah untuk maju. Dengan aturan baru, calon presiden maupun legislatif dapat memilih untuk tidak mempublikasikan latar belakang pribadi, termasuk riwayat kriminal. “Seolah-olah negeri ini kekurangan orang baik untuk duduk di jabatan publik,” katanya prihatin.
Rendahnya Literasi Politik Pemilih
Selain partai politik, Bambang juga menyoroti pemilih. Menurutnya, rendahnya literasi politik masyarakat turut memperburuk kualitas pejabat publik yang terpilih.
“Kebanyakan pemilih kita tingkat pendidikannya seperti itu. Karena levelnya sama, yang dipilih ya sama kualitasnya,” ujarnya.
Ia menyayangkan budaya politik yang lebih mengutamakan popularitas ketimbang kapasitas. Figur yang bisa “joget-joget” lebih mudah dipilih daripada mereka yang memiliki visi dan gagasan. Ditambah lagi, syarat minimal pendidikan untuk anggota DPR dan presiden yang hanya lulusan SMA, menurut Bambang, semakin menegaskan bahwa pendidikan dianggap tidak penting dalam urusan publik.
Desakan untuk Reset Politik
Secara tegas, Bambang menyimpulkan bahwa partai politik adalah aktor utama yang bertanggung jawab atas carut-marut politik Indonesia. Bahkan, ia menyebut perlunya langkah radikal jika partai gagal berbenah.
“Mana coba partai sekarang ini yang punya visi jelas tentang Indonesia mau dibawa ke mana? Tidak ada semuanya,” tegasnya.
Ia mencontohkan rekrutmen artis populer tanpa mempertimbangkan kapabilitas mereka.
“Mengurusi riset tapi dia sendiri tidak pernah riset. Ngurusin pendidikan tinggi, tapi dia tidak pernah kuliah di pendidikan tinggi. Itu kan tidak masuk akal,” pungkasnya.
Bagi Bambang, Indonesia membutuhkan “reset” total. Partai politik harus bertanggung jawab penuh terhadap kondisi negara saat ini. Kontroversi aturan KPU hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar: kegagalan sistemik dalam seleksi kader di tubuh partai politik.