BANTUL, POPULI.ID – Kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini tercatat mencapai 6.452 orang. Padahal, program MBG dirancang untuk meningkatkan gizi anak sekolah sekaligus memperkuat kualitas pendidikan. Alih-alih membawa manfaat, ribuan korban keracunan ini menjadi alarm keras adanya persoalan serius dalam tata kelola pangan, distribusi, hingga pengawasan.
Menurut pakar gizi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dr. Merita Arini MBG pada dasarnya merupakan program baik yang patut dilanjutkan. Namun, kasus keracunan ini memperlihatkan bahwa banyak aspek yang belum siap dan harus segera dibenahi.
“Tujuan MBG ini sangat bagus. Banyak penelitian membuktikan bahwa program makan siang di sekolah berdampak positif, mulai dari kontrol nutrisi, kebersihan, hingga peningkatan kehadiran dan prestasi siswa. Tetapi ketika muncul kasus keracunan hingga ribuan orang, ini jelas menimbulkan keprihatinan. Artinya ada hal besar yang perlu kita evaluasi, baik dalam pengawasan, distribusi makanan, maupun keterlibatan masyarakat,” ungkap dr. Merita dikutip dari laman UMY, Kamis (25/9/2025).
Ia menjelaskan, penyebab utama keracunan massal biasanya bukan karena makanan sengaja diracuni, melainkan akibat kontaminasi. Kontaminasi bisa berasal dari bakteri, virus, jamur, atau parasit yang menempel pada makanan, peralatan, maupun wadah distribusi. Selain itu, bahan pangan yang tidak segar, terutama produk hewani seperti ikan atau kerang, lebih berisiko menghasilkan zat beracun yang memicu keracunan.
“Yang paling sering penyebabnya itu kontaminan. Bisa dari mikroba atau toksin alami pada makanan yang tidak fresh. Produk hewani yang terlalu lama disimpan bisa mengandung histamin dalam kadar tinggi, dan tubuh tidak bisa mentoleransi itu. Karena itu, rantai pengadaan harus benar-benar ketat. Mulai dari bahan pangan segar, proses pengolahan higienis, alat yang steril, hingga jalur distribusi yang jangan terlalu panjang. Kalau distribusinya lama, risiko kontaminasi makin tinggi,” jelasnya.
Dalam hal penanganan, dr. Merita menekankan pentingnya masyarakat segera membawa pasien dengan gejala keracunan ke fasilitas kesehatan. Gejala bisa bervariasi, mulai dari ringan seperti mual, hingga berat seperti muntah hebat, diare, sesak napas, bahkan kejang.
“Kalau gejalanya ringan, tetap harus segera diperiksa. Tapi kalau sudah muncul tanda bahaya seperti muntah atau diare berat, sesak napas, atau kejang, pasien harus segera dibawa ke IGD. Selain itu, kasus harus dilaporkan ke puskesmas setempat agar ada investigasi dan pencegahan lebih lanjut,” paparnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa pengawasan MBG tidak bisa hanya mengandalkan dapur produksi. Ada pilar lain yang harus diperkuat, yakni perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta edukasi bagi semua pihak, baik penerima makanan maupun pengelola. Guru, siswa, hingga petugas dapur harus terbiasa menjaga kebersihan, mencuci tangan sebelum makan, dan memastikan peralatan tetap steril.
“Program MBG hanya akan berhasil kalau semua pilar dijalankan. Bukan sekadar penyediaan makanan, tapi juga PHBS dan edukasi. SOP dapur harus dijalankan ketat. Begitu juga bahan baku harus fresh dan benar-benar dikontrol oleh pengawas yang berkompeten. Kalau itu dijalankan, risiko keracunan bisa ditekan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam memantau, melaporkan, dan mengevaluasi jalannya program MBG.
“Selama ini masyarakat cenderung dibatasi, tidak boleh foto atau lapor. Padahal peran masyarakat sangat penting. Jangan sampai program ini hanya _top-down_, tetapi harus partisipatif supaya semua merasa ini program bersama,” tegas dr. Merita.