YOGYAKARTA, POPULI.ID – Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menekankan pentingnya pendekatan ganda dalam strategi pengentasan kemiskinan di Kota Yogyakarta. Menurutnya, pengentasan tidak bisa hanya bersifat simptomatis atau berdasarkan gejala dan kausatif alias berdasarkan akar penyebab. Melainkan harus menggabungkan keduanya secara seimbang.
“Jadi, kami fokus bagaimana strategi menurunkan kemiskinan. Jangan hanya memikirkan satu pendekatan saja. Jangan hanya memikirkan kausatif atau simptomatis. Harus dua-duanya dipikirkan,” ujar Hasto di Balai Kota Yogyakarta, Rabu (22/10/2025).
Ia menjelaskan, pendekatan simptomatis misalnya dengan memberikan bantuan makanan atau memperbaiki rumah warga tidak mampu. Sedangkan pendekatan kausatif lebih menekankan pada penyelesaian akar masalah seperti pendidikan rendah, pengangguran, atau masalah kesehatan.
“Contohnya, kalau ada warga miskin yang makannya tidak terpenuhi, lalu dikasih makan, itu pendekatan simptomatis. Tapi kalau kita beri beasiswa, bantu cari pekerjaan, atau tingkatkan kesehatannya, itu kausatif,” jelasnya.
Hasto juga menyoroti cara penghitungan angka kemiskinan yang menurutnya masih terlalu sempit dan bisa menimbulkan stigma yang tidak sepenuhnya akurat. Ia menyebut, Provinsi DIY sering dinilai miskin karena masyarakatnya tidak mengonsumsi daging atau ikan. Padahal, kata Hasto, pilihan itu bisa jadi karena gaya hidup, bukan keterbatasan ekonomi.
“Kan pertanyaan menilai orang miskin itu cuman seputar berapa kali makan nasi, makan daging, ikan, atau ayam. Banyak yang jawab enggak makan itu, tapi bukan karena miskin, karena memang dia enggak mau makan daging. Tapi akhirnya itu dicap sebagai kemiskinan,” bebernya.
Ia pun meminta agar indikator kemiskinan dipikirkan kembali dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Yogyakarta, terutama terkait pola konsumsi dan gaya hidup.
Terkait sebaran wilayah, Hasto menyebut pengentasan kemiskinan akan difokuskan pada kantong-kantong padat penduduk di sekitar bantaran sungai. Ia memfokuskan ke daerah-daerah di sepanjang Sungai Code, Gajah Wong, dan Winongo.
“Itu kantong-kantong penting yang harus disentuh lebih dulu. Kalau bisa selesai di sana, kemiskinan akan cepat turun,” katanya.
Sebagai contoh program nyata, Hasto mendorong penguatan food bank untuk menjangkau kelompok rentan seperti janda lansia, fakir miskin, dan warga lanjut usia yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
“Food bank itu bisa membagi makanan ke orang-orang yang makannya sering tidak tercukupkan. Ini penting agar ketika disurvei, mereka tidak terus-menerus dinilai miskin karena akses makan buruk,” ujarnya.
Selain itu, Hasto juga mendorong pemberdayaan ekonomi berbasis koperasi, terutama yang menyasar warga kurang mampu. Salah satu contohnya adalah Koperasi Merah Putih. Ia meminta anggota koperasi Merah Putih diisi mayoritas warga kurang mampu.
“Jangan sampai anggotanya juragan semua. Isinya orang miskin, suruh mereka berkumpul, diberi pekerjaan, seperti membuat batik yang sudah jelas pasarnya,” jelas Hasto.
Ia menuturkan, koperasi tersebut ke depannya akan memproduksi batik Segoro Amarto untuk keperluan seragam sekitar 6.000 orang. Tahun depannya diproyeksikan untuk 65.000 siswa.
Hasto menambahkan, data terakhir yang diterimanya menunjukkan angka kemiskinan di Kota Yogyakarta berada di kisaran 6,5 persen. Sementara kemiskinan ekstrem tercatat 0,5 persen pada 2023. Ia menyebut belum ada pembaruan data terbaru dari pemerintah pusat setelah angka tersebut.
“Angka terakhir kemiskinan 6,5 persen, yang kemiskinan ekstrem 0,5 persen. Saya minta dua-duanya (simptomatis dan kausatif) disentuh. Saya kira dua-duanya harus kami kerjakan,” tandasnya.












