JAWA TENGAH, POPULI.ID – “Punk itu tentang ideologi, bukan soal penampilan dan atribut diri,” dikutip dari skripsi Novi Citra Indriyaki vokalis Sukatani.
Duo post punk Sukatani sedang jadi spotlight. Single kedua dari Album Gelap Gempita yang rilis setahun lalu bertajuk Bayar Bayar Bayar bikin gerah aparat hingga menuai sorotan setengah umat dunia.
Sesuai keterangan di bio instagramnya band new wave asal Purbalingga yang digawangi Muhammad Syifa Al Ufti yang bernama panggung Electroguy dan Novi Citra Indriyaki atau Twister Angel tersebut benar-benar jadi gelombang baru perlawanan terhadap ketidakadilan dan kemapanan licik.
Single Bayar Bayar Bayar yang sempat di-takedown dari sejumlah platform musik lantaran dianggap terlalu sinis mengkritik aparat, justru jadi penebal gerakan Indonesia Gelap yang ndilalah momentumnya muncul bersamaan ketika lagu itu dibredel.
Ya, lagu Bayar Bayar Bayar milik Sukatani yang seharusnya disenyapkan justru menyalak liar di tengah ribuan pendemo di bawah tagar Indonesia Gelap.
Dari Jogja hingga Jakarta, lagu itu seakan menjadi mars gerakan Indonesia Gelap yang makin rigid.
Nah, bila ditarik dari asal band Sukatani, sejatinya semangat punk – bila didefinisikan sebagai gerakan perlawanan atas ketidakadilan, kemapanan dan sistem kapitalis – sudah mendarah daging hidup di sanubari rakyat Purbalingga.
Bila mengutip salah satu media lokal, cikal bakal berdirinya Kabupaten Purbalingga tak bisa dielakkan dari peperangan, yakni perang Jenar.
Merunut sejarah, perang Jenar merupakan salah satu fragmen dari perang Mangkubumen yang disulut dari konflik antara kakak beradik Paku Buwono II dengan Pangeran Mangkubumi.
Perang Jenar kemudian melahirkan sosok heroik bernama Kyai Arsantaka yang di kemudian hari didapuk sebagai leluhur berdirinya Kabupaten Purbalingga.
Merentang jauh kemudian ketika masa revolusi, Kabupaten Purbalingga nyatanya juga jadi palagan perlawanan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan di tengah agresi militer yang dilancarkan Kolonial Belanda.
Menurut penulis buku Jejak Perjuangan Kemerdekaan di Bumi Perwira, Gunanto Eko Saputro, ketika Belanda berupaya mengangkangi Indonesia pada periode 1945-1949, perlawanan tak hanya meletup di kota-kota besar, tetapi juga pinggiran seperti halnya Purbalingga.
Dalam catatan sejarahnya pertempuran semasa revolusi pernah terjadi di Blater, dimana siswa siswi yang tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM mengamuk di Lamuk. Kawasan Bobotsari bahkan jadi lautan api. Sementara warga di Gunung Wuled tak gentar berjuang meski dihujani kanon pasukan Belanda.
Sebagaimana tercermin dari masyarakatnya yang akrab dengan perlawanan, Purbalingga juga melahirkan sejumlah tokoh punk kalau boleh disebut demikian. Sebut saja Panglima Besar Jenderal Sudirman. Legenda tentara Indonesia ini jamak diketahui lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916.
Panglima perang yang dikenal dengan strategi gerilya-nya itu lahir di Desa Bodas, Karangjati, Rembang, Kabupaten Purbalingga.
Semasa perlawanan terhadap agresi Belanda, Jenderal Sudirman dikenal sosok yang licin. Meski dalam kondisi sakit dan ditandu, jebolah PETA tersebut mampu membuat pasukan Belanda kocak-kacir.
Disamping punya mental perlawanan yang punk banget, masyarakat Purbalingga juga dalam keseharian menerapkan kesetaraan terutama dalam berbahasa.
Diketahui, bahasa sehari-hari masyarakat Purbalingga memakai dialek Banyumasan.
Bahasa Banyumasan atau yang akrab disebut ngapak memang banyak dipakai sebagai sarana komunikasi di kawasan Jawa Tengah bagian barat terutama di eks Karesidenan Banyumas yang meliputi Banyumas, Banjarnegara hingga Purbalingga.
Berbeda dengan bahasa Jawa yang ada di Jogja atau Solo, bahasa ngapak dikenal sebagai bahasa yang lugas, blak-blakan dan tak ada tingkatan alias setara.
Oleh karenanya, ketika Presiden Prabowo Subianto – yang mengaku keturunan Banyumas – kerap kali menyebut kata Ndasmu baik di podium atau saat berada di forum, ia tak risau. Mengingat konotasi ndasmu bukan sesuatu yang menghina dan sudah lumrah diucapkan di kalangan masyarakat berdialek Banyumasan.
Dan, tentu saja sudah seharusnya baik aparat maupun negara juga tak perlu resah ketika Sukatani dengan lantang mengulang-ulang kata Bayar Bayar Bayar untuk menunjuk oknum yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat tapi justru minta imbal jasa.
Sebab, apa yang diekspresikan Sukatani seperti halnya Prabowo melihat semuanya adalah setara dan perlu memberikan koreksi alias perlawanan atas hal-hal yang dianggap tak adil atau timpang, konsep dasar yang punk banget lah.