Berbahan dasar singkong atau ketela pohon, tiwul dulunya dikenal sebagai makanan pokok pengganti nasi, terutama di masa-masa sulit ketika beras sulit didapatkan.
Kini, tiwul tak hanya dikenal sebagai warisan kuliner, tetapi juga telah mendapat pengakuan resmi sebagai kekayaan intelektual daerah.
Di tengah keterbatasan bahan pangan saat itu, tiwul hadir sebagai alternatif pengganti nasi yang mudah didapat dan bergizi.
Keberadaan tiwul dipercaya sudah ada sejak zaman kolonial, terutama saat masa pendudukan Jepang.
Kala itu, kesulitan ekonomi dan keterbatasan beras membuat masyarakat di wilayah Gunungkidul harus memutar otak agar tetap bisa memenuhi kebutuhan pangan.
Mereka pun memanfaatkan singkong sebagai sumber karbohidrat utama. Singkong yang telah dikeringkan menjadi gaplek.
Bentuknya yang khas dan proses pengolahan yang sederhana menjadikan tiwul sebagai simbol ketahanan pangan masyarakat pedesaan.
Dari kondisi inilah, tiwul mulai diandalkan sebagai makanan utama, khususnya di daerah-daerah yang sulit mendapatkan pasokan beras pada masa itu.
Tiwul umumnya dinikmati dengan pendamping sederhana seperti sambal, ikan asin, atau bisa baceman tahu dan tempe.
Kini, keberadaan tiwul tak hanya dilihat dari sisi sejarah atau nostalgia semata. Pada 16 Februari 2024, tiwul mendapat Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
Sertifikasi ini menjadi bentuk perlindungan hukum sekaligus pengakuan terhadap warisan kuliner lokal yang telah dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat.
Dengan status sebagai produk yang telah memiliki HaKI, tiwul tak hanya dilindungi dari klaim pihak lain, tetapi juga memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara komersial.
Pemerintah daerah berharap sertifikasi ini bisa menjadi pijakan awal untuk memperluas pemasaran tiwul, baik di tingkat nasional maupun mancanegara.
Selain itu, pengakuan ini diharapkan mampu membangkitkan semangat generasi muda untuk lebih mencintai dan melestarikan kuliner tradisional.
Tiwul bukan hanya tentang makanan, melainkan juga tentang identitas budaya, sejarah perjuangan, dan simbol ketahanan masyarakat Gunungkidul.