YOGYAKARTA, POPULI.ID – Hari ini, 27 Mei 2025, genap 19 tahun peristiwa gempa dahsyat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.
Gempa berkekuatan 5,9 magnitudo yang terjadi pada pukul 05.53 WIB di pagi buta itu, masih membekas dalam ingatan masyarakat, terutama warga Kabupaten Bantul yang menjadi wilayah paling terdampak.
Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa ini merupakan salah satu yang menimbulkan kerusakan paling masif dalam sejarah Indonesia.
Guncangannya terasa kuat dan berlangsung selama hampir satu menit, cukup untuk meruntuhkan ratusan ribu bangunan serta merenggut ribuan nyawa.
Ribuan Nyawa Melayang dan Rumah Rata dengan Tanah
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul mencatat, sedikitnya 4.143 orang meninggal dunia di wilayah Bantul saja.
Di seluruh wilayah terdampak seperti Sleman, Kulon Progo, Gunungkidul, hingga Klaten di Jawa Tengah bagian selatan, korban jiwa tercatat mencapai lebih dari 5.782 orang.
Puluhan ribu lainnya mengalami luka-luka, dan sekitar 390 ribu unit rumah hancur—baik rusak berat, sedang, maupun ringan.
Kepala Pelaksana BPBD Bantul saat itu, Dwi Daryanto, menegaskan bahwa yang menjadi penyebab utama jatuhnya korban bukanlah gempa semata, melainkan bangunan yang tidak tahan guncangan.
“Gempa tidak membunuh, tetapi bangunan yang menyebabkan korban luka dan meninggal dunia,” ungkapnya.
Kepanikan Massal dan Isu Tsunami
Tak hanya kerusakan fisik, bencana ini juga memicu kepanikan luar biasa.
Isu akan datangnya tsunami menyebar cepat, membuat ribuan warga berlarian menyelamatkan diri.
Lalu lintas lumpuh, kecelakaan meningkat, dan banyak yang terluka karena berdesak-desakan menyelamatkan diri.
Namun, BMKG memastikan bahwa gempa ini tidak memicu gelombang tsunami.
Episentrum gempa berada di daratan, tepatnya di titik 8,26 LS dan 110,33 BT, sekitar 38 km selatan Yogyakarta dengan kedalaman 33 km.
Gempa dipicu oleh aktivitas tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia di selatan Pulau Jawa.
Yogyakarta Porak-Poranda
Berbagai bangunan di pusat kota Yogyakarta turut mengalami kerusakan berat. Toko buku Gramedia di Jalan Jenderal Sudirman roboh.
Kawasan Mangkubumi hingga Malioboro juga tak luput dari dampaknya. Warung makan, pertokoan, hingga minimarket menutup operasi.
Di sektor ekonomi, situasi nyaris lumpuh total. Listrik padam, jaringan telekomunikasi terganggu, Bandara Adisutjipto ditutup sementara, dan sejumlah pasar rakyat runtuh.
Pasar Piyungan rata dengan tanah, sementara bangunan Pasar Bantul ambruk sebagian. Sekitar 40 base transceiver station (BTS) Telkomsel tidak berfungsi, menambah kesulitan komunikasi saat itu.
Monumen Pengingat Duka
Sepuluh tahun setelah bencana, sebuah monumen didirikan sebagai pengingat tragedi ini.
Letaknya sekitar 400 meter dari pertemuan Sungai Opak dan Oya, yang diyakini sebagai pusat gempa.
Monumen tersebut kini menjadi tempat perenungan dan penghormatan terhadap para korban dan kekuatan masyarakat yang berhasil bangkit dari keterpurukan.
Pelajaran dari Tragedi
Hingga kini, peristiwa 27 Mei 2006 tetap menjadi pelajaran penting dalam mitigasi bencana.
Masyarakat dan pemerintah terus berupaya membangun kesadaran akan pentingnya bangunan tahan gempa dan sistem peringatan dini.
Yogyakarta mungkin telah pulih secara fisik, tetapi kenangan akan pagi yang mencekam itu akan terus hidup dalam ingatan kolektif warganya, sebagai pengingat akan rapuhnya kehidupan dan pentingnya kesiapsiagaan.