SLEMAN, POPULI.ID – Bupati Sleman Harda Kiswaya bersama tim bakal menindaklanjuti laporan terkait sejumlah warga Sleman yang nasibnya terkatung-katung selama mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Kepala Bagian Hukum Pemkab Sleman, Hendra Adi mengungkapkan Pemkab Sleman yang dipimpin Bupati Harda Kiswaya akan mengecek lebih lanjut terkait laporan perihal nasib warga Sleman eks korban Erupsi Merapi yang terjebak dalam konflik lahan di lokasi transmigrasi di Kabupaten Konawe.
“Besok akan dicroscek dengan pemkab Konawe. Pak bupati akan datang ke Konawe bersama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY bantu upaya selesaikan persoalan,” terangnya kepada Populi.id, Senin (16/6/2025).
“Bersama rombongan, Pemkab Sleman juga akan membawa bantuan dari Baznas Sleman untuk warga di sana,” lanjutnya.
Lebih jauh, Hendra menyebut apabila kasus konflik lahan yang menimpa warga Sleman itu benar adanya maka itu sudah melanggar perjanjian kerja sama atau PKS yang sebelumnya sudah disepakati antara Pemkab Sleman dengan Pemkab Konawe.
“memang dari pihak Pemkab Konawe Selatan diketahui urung melaksanakan beberapa poin dalam nota kerja sama. Soal lahan yang dipermasalahkan tersebut sudah disampaikan, ketika diserobot akan diganti sejumlah sapi, tapi warga menolak,” terangnya.
Sebelumnya dilaporkan sebanyak 25 kepala keluarga yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara mengalami nasib miris.
Harapan para korban Erupsi Merapi 2010 tersebut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di tanah rantau justru kini hidup dalam ketidakpastian.
Lahan usaha seluas dua hektare yang sempat dijanjikan pemerintah hingga kini urung mereka terima.
Padahal jatah lahan beserta sertifikatnya tersebut telah tercantum dalam nota kesepahaman (MoU) yang disepakati pemerintah untuk warga korban erupsi Merapi asal Sleman yang mengikuti program transmigrasi ke Konawe.
Fakta tersebut diungkap anggota DPR RI asal Yogyakarta Totok Daryanto ketika melakukan sosialisasi kebijakan biomassa di Konawe pada Mei lalu.
Ia menyebut warga yang ditempatkan pada Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Arongo, Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto Barat saat ini baru menerima satu hektare lahan dari yang seharusnya dua hektare yang diberikan.
“Kami menerima ada konflik lahan yang tengah dihadapi warga Sleman di Konawe. Para transmigran ini baru menerima satu hektare dari dua hektare yang dijanjikan pemerintah,” terangnya kepada awak media.
Totok menyebut pada kawasan penempatan transmigrasi tersebut, pemerintah mulanya menjanjikan sebanyak 1.500 hektare lahan yang diberikan kepada penerima manfaat lahan sebanyak 500 kepala keluarga.
Tetapi hingga tahun 2025, lahan yang diterima baru seluas 312 hektare.
Dari luasan tersebut sebanyak 250 hektare dialokasikan bagi warga transmigrant luar daerah, sementara 52 hektare untuk warga lokal.
Konflik terkait lahan di area transmigrasi tersebut mulai pelik ketika warga berebut lahan dengan perusahaan sawit PT Merbau Jaya Indah pada 2015.
Gegara konfik dengan perusahaan sawit itu, saat ini sebanyak 40 hektare lahan jatah transmigrant digusur sepihak tanpa proses musyawarah.
“Akibatnya lahan garapan warga menyusut sekitar 272 hektare. Kondisi pun dilaporkan makin memanas ketika penggusuran Kembali terjadi pada periode Agustus hingga Desember 2023,” jelas Totok berdasar laporan warga transmigran.
Totok menyebut warga transmigran asal Sleman meminta adanya advokasi dari pemerintah daerah baik dari Pemda DIY maupun Pemkab Sleman.
“Kami pun telah melaporkan situasi ini ke pemerintah pusat agar bisa segera diselesaikan. Sebab ini berpotensi bahaya, bila benar terjadi sesuai yang dikeluhkan warga transmigran, ini berarti sabotase program pemerintah, orang pun nanti jadi takut bertransmigrasi,” jelasnya.
Akibat konflik lahan yang berlarut, lanjut Totok saat ini ada sebanyak 10 hingga 15 kepala keluarga asal Sleman yang akhirnya memutuskan untuk pulang kampung karena tak betah.