YOGYAKARTA, POPULI.ID – Jumlah kasus leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami lonjakan signifikan hingga mencapai 282 kasus pada Juli 2025.
Dari angka tersebut, Kabupaten Bantul menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu sebanyak 165 kasus, disusul Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Beberapa wilayah melaporkan kematian, dengan Bantul mencatatkan angka kematian tertinggi, yaitu 24 kasus.
Menurut dosen Program Studi Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga pakar epidemiologi lapangan, Dr. dr. Titiek Hidayati penyebaran leptospirosis yang cepat berkaitan erat dengan tingginya populasi tikus sebagai reservoir alami, serta perilaku masyarakat yang belum mendukung upaya pencegahan.
“Reservoir alami leptospirosis adalah tikus, dan populasi tikus di lingkungan kita masih sangat banyak, baik di rumah, sawah, maupun peternakan. Penularan terjadi biasanya lewat luka terbuka atau mukosa yang terkena air kencing tikus,” jelas Titiek dikutip dari laman UMY, Rabu (6/8/2025).
Leptospirosis seringkali sulit terdiagnosis karena gejalanya mirip dengan penyakit lain seperti demam berdarah, tifoid, atau hepatitis. Titiek mengungkapkan bahwa gejala awal dapat berupa demam tinggi, nyeri otot, kulit dan mata menguning, dan jika sudah parah bisa menyebabkan gagal ginjal atau perdarahan pada paru-paru.
Sayangnya, alat diagnostik spesifik untuk leptospirosis, seperti mikroskop medan gelap atau uji ELISA dan RT-PCR, tidak tersedia di semua puskesmas, sehingga sering terjadi underdiagnosis atau overdiagnosis.
“Obat untuk leptospirosis sebenarnya mudah didapat dan tersedia di puskesmas, seperti ampisilin atau doksisiklin. Namun, karena pasien menganggap ini hanya demam atau gejala biasa, mereka sering terlambat datang berobat,” jelasnya.
Titiek menambahkan bahwa pengendalian leptospirosis harus dimulai dari perilaku bersih dan sehat, penggunaan alas kaki saat ke sawah atau tempat becek, serta menjaga kebersihan lingkungan.
Ia menilai kurangnya praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) oleh masyarakat turut mempercepat penularan leptospirosis. Apalagi, masih ada petani yang tidak memakai alas kaki saat berada di sawah, padahal luka kecil saja bisa menjadi pintu masuk bagi bakteri.
Pemerintah, menurut Titiek, sudah cukup baik dalam mempromosikan PHBS, terutama sejak pandemi COVID-19. Namun, ia menilai pengendalian lingkungan dan manajemen sampah masih menjadi tantangan besar dalam mencegah penyebaran leptospirosis. Ia juga menyoroti pentingnya deteksi dini kepada masyarakat, termasuk skrining tikus-tikus sebagai indikator awal.
“Pemerintah sudah gencar mempromosikan PHBS, tapi kesadaran masyarakat tentang kebersihan diri dan lingkungan melalui pengelolaan sampah masih belum optimal. Tikus sangat menyukai lingkungan kotor, terutama area dengan sampah berserakan. Jika tikus di suatu daerah sudah positif leptospirosis, skrining terhadap tikus bisa mencegah potensi Kejadian Luar Biasa (KLB),” imbuhnya.
Dari sudut pandang epidemiologi, Titiek menilai kasus leptospirosis di DIY saat ini belum terkendali, mengingat jumlah kasus yang masih tinggi. Bahkan, menurutnya, masih ada double burden disease, di mana penyakit infeksi belum terkendali dan penyakit tidak menular meningkat. Titiek menyarankan agar strategi penanganan kesehatan masyarakat lebih terintegrasi dan berjangka panjang.