BANTUL, POPULI.ID – Walau lebih dari 85 persen penduduk Indonesia beragama Islam, pertumbuhan perbankan syariah di tanah air masih tertinggal dibandingkan Malaysia, yang hanya memiliki sekitar 55 persen penduduk Muslim.
Fakta tersebut disampaikan oleh Dr. Dimas Bagus Wiranatakusuma, Dosen International Program for Islamic Economics and Finance (IPIEF) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam sesi kuliah bertema “Risk Management for Banking” dalam rangkaian Summer School IPIEF 2025.
“Per Februari 2025, pangsa pasar aset perbankan syariah Indonesia baru mencapai 7,5 persen, jauh di bawah Malaysia yang telah melampaui 20 persen,” ujar seperti dikutip dari laman UMY, Sabtu (21/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa lambatnya pertumbuhan ini bukan sepenuhnya disebabkan oleh rendahnya minat masyarakat, melainkan lebih pada ekosistem kelembagaan dan dukungan regulasi yang belum optimal.
Satu diantara kendala utama adalah tidak adanya kewajiban bagi lembaga besar milik negara (GLC) untuk menempatkan dana mereka di bank syariah.
Meski demikian, Dimas menegaskan bahwa sejumlah indikator kinerja perbankan syariah nasional menunjukkan tren positif, terutama dalam hal rasio intermediasi dan tingkat profitabilitas.
Rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) bank syariah saat ini mendekati angka ideal, sementara ketahanan terhadap risiko dinilai cukup baik.
“Bank syariah di Indonesia tergolong efisien dalam proses intermediasi. Dana masyarakat yang dihimpun sebagian besar langsung disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan produktif,” jelas pakar Perbankan Islam dan Keuangan UMY tersebut.
Dalam konteks risk management, Dimas menekankan pentingnya agar perbankan syariah tetap berakar pada nilai-nilai inklusif dan pembangunan sosial. Selain itu, inovasi produk menjadi hal yang tak bisa diabaikan agar layanan tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Produk seperti sukuk dan wakaf produktif, menurutnya, merupakan contoh konkret bagaimana instrumen keuangan syariah dapat mendukung pembangunan berkelanjutan.
Ia juga menyoroti pentingnya literasi dan edukasi keuangan syariah, terutama bagi generasi muda dan pelaku usaha kecil. Hal ini menjadi langkah strategis dalam memperluas penetrasi pasar dan memperkuat kepercayaan publik.
“Jika kita ingin keluar dari stagnasi di bawah 10 persen, maka kita harus membangun persepsi yang tepat, memperbaiki regulasi, memperluas digitalisasi, dan memperkuat sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dimas menekankan bahwa transformasi digital, kolaborasi internasional, dan strategi pemasaran yang adaptif merupakan kunci untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam industri keuangan syariah global.
“Transformasi digital harus menjadi prioritas, disertai kolaborasi lintas negara dan strategi pemasaran yang relevan dengan generasi saat ini. Hanya dengan cara ini kita bisa menjadikan perbankan syariah sebagai arus utama dalam sistem keuangan nasional,” pungkasnya.