BANTUL, POPULI.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan lokal hangat diperbincangkan sejak diketok pada 2024 lalu.
Polemik muncul di berbagai kalangan, terutama mengenai untung-ruginya keputusan ini bagi partai politik (parpol). Pertanyaannya: apakah parpol akan diuntungkan atau justru buntung menghadapi pesta demokrasi 2029 mendatang?
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ridho Al-Hamdi menjelaskan bahwa putusan tersebut bisa menjadi angin segar bagi parpol. Dengan adanya jeda dua tahun antara pemilu nasional dan lokal, parpol memiliki waktu lebih untuk mempersiapkan kader di tingkat daerah, setelah sebelumnya bertarung di level nasional. Ia juga menambahkan, pemisahan pemilu memungkinkan sorotan masyarakat bergeser dari dominasi pemilihan presiden (pilpres) ke pemilu daerah, yang selama ini kerap luput dari perhatian publik.
“Dengan keputusan ini, mesin parpol tidak lagi dihabiskan hanya untuk satu momen. Setelah pilpres dan pileg nasional, ada jeda dua tahun untuk mempersiapkan kader-kader yang akan maju di tingkat daerah,” ujarnya dikutip Sabtu (5/7/2025).
Dari sisi internal, pemilu lokal juga bisa menjadi ajang evaluasi bagi parpol terhadap koalisi yang terbentuk di level nasional. Parpol yang kecewa terhadap hasil atau dinamika internal koalisi nasional dapat membentuk formasi baru saat menghadapi pemilu daerah.
“Dengan dinamika nasional dan lokal yang berdiri sendiri, parpol punya fleksibilitas. Pemilu serentak sebelumnya terlalu melelahkan, dan banyak partai kehabisan energi,” lanjutnya.
Namun di sisi lain, Ridho menilai putusan MK ini juga dapat menjadi alarm bagi parpol yang mengecewakan masyarakat. Jika pemilih merasa dikhianati oleh partai pilihannya pada pemilu nasional, mereka tidak perlu menunggu lima tahun untuk ‘menghukum’ partai tersebut. Hanya dalam dua tahun, publik bisa menunjukkan sikapnya melalui pemilu lokal.
Ridho menilai, pemisahan pemilu dapat dimanfaatkan sebagai ajang untuk membangun kembali citra dan kepercayaan publik. Parpol didorong agar tidak hanya muncul setiap lima tahun sekali menjelang pemilu, melainkan terus aktif dalam menjalin kedekatan dengan masyarakat.
“Dengan skema ini, mesin partai akan terus berjalan. Dulu partai mati suri selama lima tahun. Sekarang, mereka harus terus aktif. Menurut saya, model ini lebih sehat untuk demokrasi,” tuturnya.
Meski demikian, Ridho juga menggarisbawahi bahwa setiap perubahan besar tentu memiliki konsekuensi. Penolakan dari DPR menjadi tantangan tersendiri dalam upaya konsolidasi demokrasi yang berkelanjutan.
“Konsekuensinya tentu mahal, dan tidak semua pihak akan merasa puas. Tapi menurut saya, pemisahan pemilu ini adalah salah satu cara untuk membuat demokrasi kita lebih terkonsolidasi,” tambahnya.
Ridho juga menyoroti pentingnya revisi Undang-Undang Pemilu agar kewenangan dalam menentukan calon kepala daerah tidak sepenuhnya tersentralisasi di tangan elit partai. Selain itu, UU yang mengatur kekosongan kursi di DPRD akibat mekanisme ini juga dinilai mendesak untuk segera dibahas.