BANTUL, POPULI.ID – Keputusan pemerintah tidak menaikkan cukai hasil tembakau tahun ini dinilai bertentangan dengan upaya pengendalian konsumsi barang berbahaya dan berpotensi menambah beban ekonomi negara di masa depan.
Kebijakan tersebut juga dianggap mengabaikan fakta bahwa dampak rokok tidak hanya dirasakan oleh perokok aktif, tetapi juga masyarakat luas melalui meningkatnya pembiayaan kesehatan publik.
Pandangan ini disampaikan oleh Pakar Ekonomi Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Diah Setyawati Dewanti.
Menurut Diah, cukai rokok seharusnya tidak dipandang sebagai instrumen peningkatan penerimaan negara, melainkan sebagai bentuk kompensasi atas kerugian sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok. Ia menegaskan, seiring dengan meningkatnya inflasi dan pendapatan masyarakat, penyesuaian tarif cukai perlu dilakukan agar tetap relevan dan efektif dalam menekan tingkat konsumsi.
“Kalau dari sisi ekonomi kesehatan, cukai rokok itu bukan penerimaan negara. Ia lebih mirip kompensasi atas kerugian yang ditanggung negara akibat menurunnya kualitas sumber daya manusia karena dampak rokok. Jika dibiarkan stagnan, kebijakan tersebut dapat menimbulkan ketimpangan antara tujuan ekonomi dan kesehatan masyarakat,” jelasnya dikutip dari laman UMY, Selasa (14/10/2025).
Diah menyayangkan keputusan pemerintah yang menahan kenaikan cukai, karena hal itu dianggap sebagai bentuk kealpaan terhadap kepentingan jangka panjang masyarakat. Ia menilai, kebijakan tersebut justru dapat mendorong peningkatan jumlah perokok baru, khususnya di kalangan remaja dan usia muda yang cenderung lebih sensitif terhadap harga murah dan paparan iklan.
“Kalau cukai tidak naik, akan banyak perokok muda baru. Mereka bisa membeli sejak dini, lalu ketagihan hingga dewasa. Akhirnya kesehatan mereka menurun, dan negara menanggung biaya pengobatannya lewat BPJS. Mereka membayar iuran kecil, tapi biaya pengobatannya besar. Ini bentuk abai terhadap kesehatan publik,” tegas Diah.
Selain menimbulkan dampak kesehatan, kebijakan ini juga berpotensi memperdalam ketimpangan sosial. Masyarakat berpenghasilan rendah, yang cenderung menjadi konsumen utama produk tembakau, akan semakin terjebak dalam perilaku konsumtif yang merugikan secara ekonomi dan kesehatan.
Melihat hal tersebut, Diah menekankan perlunya sinergi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan untuk menata ulang kebijakan pengendalian rokok di Indonesia. Ia menilai bahwa pemerintah tidak hanya perlu menaikkan harga rokok, tetapi juga memperkuat aspek edukasi publik, pelarangan iklan, serta penyediaan layanan berhenti merokok secara luas.
“Jika kebijakan stagnasi cukai rokok terus berlanjut, dampaknya bukan hanya menekan kesehatan publik, tetapi juga mengancam efisiensi ekonomi nasional dalam jangka panjang. Pemerintah seharusnya menjadikan kenaikan cukai sebagai langkah strategis untuk membatasi konsumsi dan memperkuat kesadaran publik. Maka dari itu, segeralah naikkan cukai rokok untuk menyelamatkan perekonomian dan kesehatan masyarakat,” pungkasnya.