YOGYAKARTA, POPULI.ID – Sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi di depan Monumen Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Senin (10/11/2025). Aksi ini digelar untuk menolak penetapan Presiden kedua RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto.
Massa mulai berkumpul di depan Monumen TKR sekitar pukul 10.30 WIB. Mereka membentangkan berbagai poster dan spanduk bertuliskan “Soeharto Bukan Pahlawan”, “Presiden Pelanggar HAM”, dan “Menolak Bungkam”, sembari melakukan orasi bergantian.
Juru bicara aksi, Bung Koes, mengatakan bahwa penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional pada momentum Hari Pahlawan merupakan keputusan yang ahistoris dan mengkhianati semangat reformasi.
“Ini sungguh disayangkan. Tahun 1998 rakyat tumpah ruah menuntut Soeharto turun dari jabatan karena pelanggaran HAM, korupsi, dan perampasan lahan. Dengan menobatkannya sebagai pahlawan, rezim Prabowo–Gibran sedang menantang rakyat dan merusak nalar demokrasi,” ujarnya di sela aksi.
Menurutnya, keputusan tersebut menunjukkan tidak adanya empati terhadap korban kebijakan represif Orde Baru. Ia juga menyinggung bahwa penetapan Soeharto dilakukan bersamaan dengan pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dua sosok yang justru menjadi korban dan penentang rezim Soeharto.
“Ini ironis. Marsinah dibunuh militer di masa Orde Baru, sementara Gus Dur mendesak agar Soeharto mundur. Menyamakan mereka dalam deretan pahlawan adalah bentuk pengkhianatan terhadap reformasi. Gong kematian reformasi adalah ketika Soeharto menjadi pahlawan,” kata Bung Koes.
Adapun aksi digelar di depan Monumen TKR karena lokasi tersebut dianggap memiliki simbolisme kuat terhadap figur Soeharto yang berlatar militer. Monumen tersebut juga berhadapan langsung dengan Kantor DPD Partai Golkar DIY.
“TNI dan Golkar adalah dua entitas yang menjadi alat kekuasaan Soeharto untuk menindas rakyat,” ucap Bung Koes.
Perwakilan dari Forum Cik Di Tiro, Tri Wahyu, menyebut penetapan Soeharto sebagai pahlawan sebagai kematian reformasi 1998. Ia menilai kebijakan tersebut memperlihatkan arah pemerintahan saat ini yang semakin menjauh dari nilai demokrasi dan keadilan sosial.
“Reformasi 1998 sudah mati, dan pembunuhnya adalah Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto, bersama Gibran bin Jokowi. Ini kabar duka bagi gerakan demokratisasi di Yogyakarta,” tegasnya.
Tri yang juga merupakan bagian dari gerakan aktivis 1998 menyinggung kembali kasus pembunuhan wartawan Udin yang terjadi di masa Orde Baru dan belum tuntas hingga kini. Ia menyebut situasi ini menunjukkan bahwa warisan ketidakadilan Orde Baru masih hidup.
“Bagaimana mungkin Marsinah dan Gus Dur disandingkan dengan Soeharto? Ini jelas desain politik. Soeharto adalah target utama, sementara Gus Dur dan Marsinah hanya dijadikan gimmick untuk memoderasi perlawanan publik,” ujarnya.












