POPULI.ID – Istilah silent majority mencuat ke publik dan menjadi perbincangan hangat di Tanah Air, terutama setelah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Istilah ini populer pasca hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024, seiring dengan hasil hitung cepat yang menunjukkan keunggulan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Apa itu Silent Majority?
Secara fundamental, silent majority merujuk pada sekelompok besar orang dalam suatu populasi yang tidak secara terbuka mengekspresikan pendapat mereka mengenai isu-isu tertentu, terutama sosial dan politik.
Sejarah Silent Majority
Jauh sebelum digunakan dalam konteks politik modern, istilah silent majority telah ada dan memiliki makna yang berbeda. Pada abad ke-19, istilah ini lazim digunakan sebagai eufemisme untuk merujuk kepada orang-orang yang telah meninggal dunia.
Penggunaan ini didasarkan pada gagasan bahwa jumlah orang yang telah meninggal jauh lebih banyak daripada jumlah orang yang masih hidup, sehingga membentuk sebuah mayoritas yang diam.
Bahkan, penulis Romawi Petronius pada masa lampau menggunakan istilah serupa, yaitu abiit ad plures untuk menggambarkan orang yang telah meninggal.
Penggunaan istilah ini sebagai kiasan untuk kematian berlanjut hingga awal abad ke-20, di mana frasa seperti joined the silent majority menjadi umum digunakan sebagai pengganti kata meninggal.
Penggunaan awal ini mengimplikasikan sebuah kelompok besar yang tidak terhitung jumlahnya dan secara inheren diam, sebuah konsep yang kemudian bertransformasi ketika istilah ini memasuki ranah politik.
Pergeseran makna silent majority ke dalam konteks politik mulai terlihat pada abad ke-19 di Amerika Serikat. Pada Mei 1831, perwakilan negara bagian New York, Churchill C. Cambreleng menggunakan istilah ini untuk merujuk pada anggota parlemen lain yang memberikan suara sebagai satu blok.
Kemudian, pada tahun 1919, Bruce Barton yang merupakan seorang eksekutif periklanan dan pendukung Partai Republik, menggunakan istilah ini untuk mendukung kampanye Calvin Coolidge saat mencalokan diri sebagai Presiden Republik tahun 1920.
Barton menggambarkan Coolidge sebagai kandidat orang biasa yang mewakili silent majority yang seolah-olah tidak memiliki juru bicara, menekankan bahwa Coolidge hidup, bekerja, dan memahami seperti mereka.
Popularitas istilah silent majority mencapai puncaknya pada era Presiden Amerika Serikat Richard Nixon. Dalam pidato yang disiarkan televisi pada 3 November 1969, Nixon secara eksplisit meminta dukungan dari silent majority rakyat Amerika terkait dengan kebijakan pemerintahannya dalam Perang Vietnam.
Populer di Indonesia
Istilah silent majority menjadi sorotan utama dalam konteks Pemilu 2024 di Indonesia. Istilah ini popular setelah hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024, terutama setelah hasil perhitungan cepat muncul.
Setelah hasil quick count diumumkan, berbagai tokoh politik dan media mulai menggunakan istilah silent majority untuk mencoba menjelaskan hasil yang tampak berbeda dari beberapa prediksi survei sebelumnya.
Keunggulan yang diraih oleh Prabowo-Gibran dalam hasil quick count diinterpretasikan oleh banyak pihak sebagai representasi dari suara silent majority yang selama ini mungkin tidak terlalu terlihat.
Adanya perbedaan antara margin kemenangan dalam quick count dengan beberapa prediksi survei sebelum Pemilu memunculkan narasi bahwa ada kelompok pemilih yang tidak terdeteksi oleh metodologi survei konvensional dan baru terungkap pada saat pemungutan suara.
Penulis: Rahmadita Widyasari