SLEMAN, POPULI.ID – Dalam dunia politik terdapat istilah dan oposisi. Dua istilah ini memiliki makna yang berlawanan dalam sistem pemerintahan demokrasi.
Lantas apa perbedaan koalisi dan oposisi? Simak penjelasan berikut :
Koalisi
Koalisi diartikan sebagai kerja sama antara beberapa partai untuk tujuan tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), koalisi bertujuan untuk memperoleh suara dalam parlemen.
Istilah ini umumnya muncul pascapemilihan umum (Pemilu). Dalam teori kepartaian, koalisi terbagi menjadi tiga.
Pertama, koalisi yang dibentuk pada arena pemilu dengan orientasi mendapatkan kemenangan.
Dalam koalisi ini, sejumlah partai politik yang memiliki kedekatan ideologi bersepakat bekerja sama secara sukarela atau bersifat voluntaristik.
Sebab itu, koalisi aktif menyuarakan kampanye demi meraup suara tinggi.
Yang kedua adalah koalisi yang tercipta di arena pemerintahan.
Motif koalisi ini adalah untuk bersama-sama menjalankan roda pemerintahan.
Koalisi ini umumnya terbentuk berdasarkan kesepakatan sebelum hasil pemilu yang kemudiaan dilanjutkan setelah pemerintahan terbentuk.
Adapun yang ketiga, koalisi yang bertujuan untuk menghasilkan kebijakan atau undang-undang tertentu.
Dalam hal ini, masa aktif koalisi bersifat sementara. Jika tujuan telah tercapai atau undang-undang tercipta, koalisi akan dibubarkan.
Contoh koalisi partai terjadi jelang Pemilu 2024 untuk mengusung pasangan calon nomor 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Koalisi tersebut bernama Koalisi Indonesia Maju (KIM).
KIM terdari dari 10 partai politik yakni Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, PSI, Partai Gelora Indonesia, Garuda, Partai Aceh dan PRIMA.
Oposisi
Secara etimologi oposisi akarnya dari bahasa Latin “opponere” atau “oppositus” yang kemudian diserap ke bahasa Inggris “opposition” yang berarti berlawanan.
Sedangkan dalam KBBI, oposisi dalam politik artinya partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang melawan dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.
Seorang pemikir demokrasi, Ian Shapiro mendefinisikan oposisi sebagai konsekuensi dari partisipasi rakyat dalam suatu pemerintahan.
Oposisi dicirikan sebagai kelompok yang berada di luar pemerintahan, dan biasanya mengkritisi kebijakan pemerintah.
Mereka menyuarakan pandangan maupun penilaian bernada tak puas atas kebijakan pemerintah.
Kehadiran oposisi ini dapat menjadi penyeimbang kekuasaan sekaligus memastikan agar pemerintah tetap transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.
Yunita Ajeng Raharjo