SLEMAN, POPULI.ID – Isu money politic atau politik uang menjadi sorotan utama terutama saat perhelatan pemilihan umum (Pemilu) di berbagai tingkatan, mulai dari pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, hingga presiden dan wakil presiden.
Praktik ini menimbulkan kekhawatiran mendalam karena berpotensi merusak demokrasi dengan mendistorsi kehendak masyarakat dan membuka peluang bagi terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten atau tak berintegritas.
Definisi Money Politic
Secara sederhana, money politic dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memengaruhi pilihan pemilih, bahkan penyelenggara Pemilu, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menawarkan imbalan berupa materi atau keuntungan lainnya.
Menurut Juliansyah dalam buku Politik Uang (2020), money politic adalah suatu upaya memengaruhi orang lain menggunakan imbalan materi atau dapat diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasan.
Praktik Money Politic
Di Indonesia, istilah yang umum digunakan adalah politik uang, tetapi terdapat pula istilah-istilah lain yang sering muncul, seperti serangan fajar.
Istilah ini merujuk pada praktik pemberian uang atau barang kepada pemilih menjelang hari pemungutan suara.
Selain itu, mobilisasi massa saat kampanye juga rawan adanya money politic. Para massa kampanye biasanya diberi uang transportasi, uang lelah, atau uang makan dengan harapan mereka akan memilih calon dari partai politik tersebut.
Payung Hukum Larangan Money Politic
Ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang praktik money politic di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi landasan hukum utama yang mengatur hal ini.
Beberapa pasal krusial dalam UU ini, meliputi Pasal 278 ayat (2) yang melarang politik uang selama masa kampanye.
Pasal 280 ayat (1) huruf J yang melarang penyelenggara, peserta, dan tim kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Lalu Pasal 286 ayat (1) yang melarang kandidat dan tim kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara atau pemilih.
Pasal 515 yang memberikan sanksi bagi siapa pun yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya pada hari pemungutan suara. Dan Pasal 523 yang mengatur sanksi umum terkait money politic.
Selain UU Pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga secara spesifik mengatur larangan dan sanksi terkait money politic.
Pasal 73 dalam UU ini melarang kandidat dan/atau tim kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara atau pemilih.
Lebih lanjut, dalam Pasal 187 A mengatur sanksi pidana yang tegas bagi pelaku money politic, baik pemberi maupun penerima.
Jika terbukti melibatkan keuangan negara, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah juga dapat diterapkan.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku money politic dapat berupa sanksi administratif, seperti pembatalan status kandidat, maupun sanksi pidana berupa hukuman penjara (mulai dari beberapa bulan hingga beberapa tahun) dan denda (mulai dari jutaan hingga miliaran rupiah) bagi pemberi maupun penerima, terutama dalam konteks Pilkada.
Dampak Money Politic
Praktik money politic membawa dampak negatif yang luas dan merusak bagi kualitas demokrasi dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Dampak yang paling signifikan adalah terkikisnya kualitas demokrasi itu sendiri.
Pemilu yang seharusnya menjadi ajang kompetisi ide dan program kerja antarkandidat, malah menjadi transaksi material di mana pemilih cenderung menentukan pilihan berdasarkan insentif finansial yang ditawarkan.
Hal ini secara keseluruhan menurunkan standar dan kualitas proses demokrasi.
Lebih lanjut, money politic sering kali disebut sebagai induk korupsi. Kandidat yang menghabiskan banyak uang untuk membeli suara kemungkinan besar akan merasa terdorong untuk mengembalikan modal kampanye mereka melalui praktik korupsi setelah terpilih.
Ini dapat berupa tindakan menerima suap, melakukan kolusi, atau mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok di atas kepentingan publik