YOGYAKARTA, POPULI.ID – Dugaan pelanggaran atas foto bertajuk Morning at Prambanan karya Bambang Wirawan oleh Hotel Tentrem Yogyakarta memantik perhatian publik termasuk akademisi.
Dosen Seni Budaya Universitas Gadjah Mada Paramitha Dyah menilai karya seni sebagai representasi intelektualitas dan perasaan. Oleh karenanya pelindungan hak cipta bukan sekadar regulasi, melainkan wujud penghargaan terhadap martabat pencipta.
“Fotografi, seperti cabang seni lainnya, lahir dari pergulatan batin dan refleksi intelektual. Ia harus diperlakukan sebagai entitas yang hidup,” katanya, Jumat (16/5/2025).
Menurutnya, perlindungan hukum terhadap karya tidak cukup berupa pengakuan tekstual dalam undang-undang.
“Hukum harus hadir secara konkret dalam kebijakan, sikap aparat, dan putusan pengadilan,” tegasnya.
Ia menambahkan, hukum tak boleh berhenti sebagai sistem normatif atau alat administratif.
“Ia adalah pengejawantahan nilai budaya dan etika bangsa. Bila hukum pasif, maka ia gagal menjalankan perannya sebagai pelindung nilai,” katanya.
Paramitha menekankan negara wajib berpihak pada pencipta, bukan hanya pembaca undang-undang.
“Ketika pencipta disingkirkan, hukum kehilangan roh keadilan,” pungkasnya.
Sementara itu, pengajar Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta I Gede Arya Sucitra, menegaskan tahun 2025 merupakan momentum penting sebagai kebangkitan kesadaran hak cipta.
“Ini bukan semata perkara hukum, tapi tolok ukur peradaban. Bangsa besar menghargai penciptanya,” ucapnya.
Baginya, karya seni tak hanya menyajikan nilai estetika, tetapi juga mencerminkan eksistensi dan gagasan penciptanya.
“Mengakui seniman adalah bentuk penghormatan terhadap sumber kreativitas,” tuturnya.
Ia menilai prinsip atribusi mutlak dijunjung.
“Tanpa pengakuan, relasi filosofis antara pencipta dan ciptaan terputus. Ini merendahkan proses kreatif itu sendiri,” imbuhnya.
Lebih jauh, Ia menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak cipta mencederai bukan hanya hukum, tetapi fondasi kebudayaan.
“Masyarakat beradab menjaga ciptaan, bukan mengeksploitasinya. Karya harus dilindungi, bukan diabaikan,” tandasnya.
Ia menyatakan dukungan pada gerakan Perlindungan Seni sebagai bentuk komitmen terhadap kemanusiaan.
“Melindungi pencipta adalah awal merawat peradaban. Tanpa itu, kita kehilangan bukan hanya seni, melainkan juga jati diri,” sebutnya.