SLEMAN, POPULI.ID – Polemik uji klinis vaksin tuberkulosis (TBC) mencuat seiring maraknya narasi yang menyebut masyarakat dijadikan kelinci percobaan.
Menanggapi hal ini, Riris Andono Ahmad ahli epidemiologi Universitas Gadjah Mada, menegaskan bahwa uji klinis bersifat sukarela dan tunduk pada prosedur ketat.
“Peserta tidak bisa dipaksa. Meski bersedia, bila tak memenuhi kriteria, tetap tidak dapat ikut,” katanya dalam unggahan resmi PKT UGM, Sabtu (17/5/2025).
Ia menyebut diksi kelinci percobaan keliru karena menyiratkan paksaan.
“Dalam laboratorium, hewan uji tak memiliki kehendak. Uji klinis justru menempatkan persetujuan individu sebagai syarat utama,” ucapnya.
Vaksin TBC yang diuji telah melewati dua fase sebelumnya, masing-masing menguji keamanan dan dosis.
Fase ketiga ini bertujuan menilai efektivitas dalam mencegah penularan.
“Tanpa lolos fase awal, vaksin takkan sampai pada tahap ini. Seluruh proses diawasi lembaga independen, baik nasional maupun global,” tegasnya.
Indonesia tercatat sebagai negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia.
Setiap tahun, sekitar satu juta kasus tercatat, dengan 130 ribu kematian.
Menurut dr. Riris, partisipasi Indonesia dalam uji klinis justru penting, agar efektivitas vaksin teruji pada populasi yang paling terdampak.
Vaksin BCG yang kini digunakan hanya mencegah keparahan pada anak, bukan penularan.
Karena itu, vaksin baru diperlukan guna memberikan perlindungan menyeluruh.
Menyoal keterlibatan Bill Gates, ia menyatakan bahwa dukungan dana berasal dari semangat filantropi, bukan dominasi korporasi.
“Pandangan skeptis bisa dimaklumi, namun manfaat uji klinis bagi kesehatan publik jauh lebih besar dibanding risiko yang telah dikendalikan,” imbuhnya.