SLEMAN, POPULI.ID – Seorang santri Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, diduga menjadi korban penganiayaan oleh 13 orang.
Aksi kekerasan ini bermula dari tuduhan pencurian uang senilai Rp700.000 hasil penjualan air galon.
Kapolresta Sleman, Kombes Edy Setyanto Erning Wibowo, membenarkan laporan tersebut telah masuk ke kepolisian.
Ia mengatakan, baik korban maupun para terduga pelaku telah membuat laporan secara terpisah.
“Awalnya korban dilaporkan karena mencuri uang,” katanya saat dihubungi Jumat (30/5/2025).
Menurutnya, kasus ini berawal dari dugaan pencurian yang dilakukan korban berinisial KDR.
Tak berselang lama setelah laporan pencurian diterima, KDR balik melapor karena mengaku dianiaya oleh sejumlah orang di lingkungan pondok.
“Korban pencurian juga melapor, setelah sebelumnya membuat laporan penganiayaan,” tuturnya.
Dari hasil penyelidikan awal, korban disebut telah beberapa kali mencuri sebelum akhirnya ditangkap dan diduga menjadi sasaran kekerasan.
Namun, Edy belum merinci bentuk kekerasan yang dialami santri tersebut.
“Ia terakhir tertangkap, kemudian dianiaya oleh yang lain,” ucapnya singkat.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pelaku terdiri dari santri dan pengurus pesantren.
Beberapa di antaranya masih di bawah umur, sehingga belum dilakukan penahanan.
“Ada pelaku dewasa dan ada juga yang belum cukup umur,” ujarnya.
Meski mediasi telah diupayakan, hingga kini belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
“Belum ada titik temu, jadi proses hukum tetap berjalan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Tim Kuasa Hukum korban, Heru Lestarianto, mengungkapkan bahwa penganiayaan terjadi pada 15 Februari 2025.
Ia menyebut KDR mengalami kekerasan dua kali dalam durasi berbeda.
“KDR diikat dan dipukuli oleh 13 orang,” jelasnya saat diwawancarai secara terpisah.
Menurutnya, korban juga sempat disetrum dan dipaksa mengakui perbuatannya agar kekerasan dihentikan.
Pihak keluarga bahkan telah mengganti uang senilai Rp700.000 kepada pesantren, namun penganiayaan tetap terjadi.
“Ia dipaksa mengaku, bahkan disetrum,” tegasnya.
Ia menyayangkan adanya tindakan kekerasan yang disebut sebagai bentuk main hakim sendiri. Ia menilai hal tersebut melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan.
“Tidak ada alasan yang membolehkan kekerasan, termasuk jika korban memang bersalah,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, ke-13 terlapor terdiri dari sembilan orang dewasa dan empat di bawah umur.
Mereka dijerat Pasal 170 jo 351 jo 55 KUHP tentang pengeroyokan.
“Harusnya ditahan, tapi mereka mengajukan penangguhan,” sebutnya.
Hingga berita ini diturunkan, kasus masih ditangani Polresta Sleman dan belum ada kesepakatan damai dari pihak korban maupun pondok pesantren.