JAKARTA, POPULI.ID – Sejumlah jenderal purnawirawan TNI mengajukan permohonan kepada MPR dan DPR RI untuk memberhentikan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya.
Langkah itu disampaikan lewat surat resmi yang dikirim pada Senin, 2 Juni 2025.
Menurut Sekretaris Forum Purnawirawan Prajurit TNI, Bimo Satrio, surat tersebut telah ditandatangani dan mendapat restu dari sejumlah tokoh militer senior, termasuk Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.
“Fokus kami pada poin ke-8, yakni usulan pemberhentian Wakil Presiden kepada MPR,” ujar Bimo kepada wartawan, Selasa (3/6/2025).
Dalam surat tersebut, Forum Purnawirawan menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia capres-cawapres melanggar ketentuan hukum acara dan prinsip-prinsip peradilan.
Karena itu, mereka meminta MPR mengevaluasi posisi Gibran sebagai Wakil Presiden terpilih.
Meski demikian, Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, mengaku belum menerima dokumen tersebut secara resmi
“Kami akan cek keabsahan suratnya,” katanya singkat.
Ahli Hukum: Tak Bisa Berdasar Tekanan Politik
Pakar hukum tata negara UGM, Dr. Yance Arizona, menyebut usulan pemakzulan Gibran belum memiliki dasar hukum yang kuat.
Ia mengingatkan bahwa proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden harus berlandaskan pada ketentuan Pasal 7A UUD 1945.
“Impeachment bukanlah alat politik, melainkan mekanisme hukum yang ketat. Harus ada pembuktian bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran berat seperti korupsi, pengkhianatan, atau perbuatan tercela,” jelas Yance.
Ia juga menekankan bahwa MPR bukan lembaga pemula dalam proses pemakzulan.
Menurut konstitusi, DPR lah yang memiliki kewenangan awal untuk mengusut dugaan pelanggaran melalui hak angket atau hak menyatakan pendapat.
Setelah itu, Mahkamah Konstitusi (MK) yang menentukan ada tidaknya pelanggaran hukum. Barulah MPR dapat menggelar sidang pemberhentian.
Isu yang menjadi sorotan dalam kasus Gibran adalah usia. Ia dilantik sebagai Wapres saat belum genap 40 tahun, usia minimal yang disyaratkan konstitusi.
Keputusan MK yang membuka jalan bagi pencalonannya sempat menuai kritik dan dinilai kontroversial.
Yance menyatakan, jika memang ada intervensi dalam proses hukum atau dugaan manipulasi saat pencalonan, maka hal itu bisa menjadi dasar hukum untuk pemakzulan. Namun, semua itu harus dibuktikan secara sah.
“Kalau terbukti ada rekayasa dalam putusan MK atau di KPU, itu bisa dikaitkan dengan syarat konstitusional yang dilanggar. Tapi lagi-lagi, ini ranah hukum, bukan sekadar opini,” ujarnya.
Menurutnya, jika ada bukti kuat bahwa Gibran tak memenuhi syarat saat pencalonan, maka DPR bisa menempuh jalur angket atau bahkan gugatan ke PTUN.
Namun, hingga kini belum ada inisiatif hukum formal yang menunjukkan langkah ke arah itu.
Tanpa bukti hukum yang kokoh dan proses sesuai konstitusi, dorongan pemberhentian ini berpotensi hanya menjadi simbol kekecewaan politik semata.
“Proses hukum tak bisa digeser hanya karena tekanan atau opini publik. Kalau memang ada pelanggaran, mari kita uji lewat mekanisme resmi yang tersedia,” pungkas Yance.
MPR Tegaskan Pemilu Sudah Sah
Sementara itu, Ketua MPR RI Ahmad Muzani, menanggapi isu pemakzulan ini dengan menegaskan bahwa Pemilu 2024 telah berjalan sesuai prosedur.
Ia menyebut kemenangan pasangan Prabowo-Gibran telah disahkan oleh KPU dan diperkuat lewat putusan MK.
“Pak Prabowo adalah Presiden yang sah menurut konstitusi, dan Gibran adalah Wakil Presiden sah yang telah ditetapkan berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku,” ujar Muzani.