BANTUL, POPULI.ID – Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Takdir Ali Mukti menilai pemerintah terlalu “santai” dalam menyikapi dinamika global, terbukti dari masih kosongnya posisi duta besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kekosongan ini, menurutnya, menyiratkan bahwa Indonesia belum menempatkan isu hubungan internasional dalam kerangka darurat dan strategis.
“Mestinya pemerintah merasa galau. Tapi saya lihat posisi dubes ini sudah kosong sejak 2023. Bagi orang HI, posisi ini sangat penting. Tapi tampaknya pemerintah cenderung santai. Dan itu bisa bermakna macam-macam,” ujar Takdir dikutip dari laman UMY, Senin (7/7/2025).
Ia juga melihat kemungkinan lain di balik kekosongan tersebut, yakni soal kepercayaan atau kepentingan dalam relasi bilateral. Takdir menilai bisa jadi pemerintah AS menginginkan agar tidak ada pengganti dubes baru demi menjaga kesinambungan agenda negosiasi yang sebelumnya telah dibangun.
“Bisa saja ada agenda yang sedang berlangsung, dan jika diganti orangnya, negosiasinya bisa tidak sinkron. Bahkan bisa jadi ada permintaan, ‘jangan diganti dulu’, karena mereka ingin melanjutkan pembahasan dengan dubes sebelumnya,” imbuhnya.
Menurut Takdir, kekosongan perwakilan diplomatik di negara strategis justru menjadi tantangan serius bagi Indonesia. Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk segera mengisi posisi tersebut secara selektif dan berdasarkan kualifikasi.
Khusus untuk AS dan PBB, Takdir menekankan bahwa pos tersebut harus diisi oleh diplomat karier karena kompleksitas hubungan bilateral yang tinggi, khususnya dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
“Perwakilan kita di luar negeri itu kan punya klasifikasi, ada yang kelas A, B, dan C. Untuk AS dan PBB, itu jelas kelas A. Maka idealnya yang mengisi adalah diplomat karier atau sosok yang benar-benar paham visi bisnis dan diplomasi tingkat tinggi,” jelasnya.
Takdir juga menambahkan bahwa latar belakang hukum menjadi nilai tambah bagi calon dubes, mengingat banyaknya perjanjian bilateral yang terdampak kebijakan proteksionis era Presiden Donald Trump.
“Ribuan perjanjian AS dan negara lain, termasuk Indonesia, digugurkan di era Trump. Karenanya, kita perlu dubes dengan latar belakang hukum dan pengalaman negosiasi, agar bisa merancang ulang perjanjian-perjanjian yang strategis,” tutup Takdir.