BANTUL, POPULI.ID – Pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menimbulkan sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Trisno Raharjo.
Menurutnya, keputusan ini memunculkan banyak pertanyaan, terutama terkait dengan 1.115 orang lainnya yang juga mendapatkan amnesti bersamaan dengan Hasto.
Trisno mengungkapkan kekhawatirannya terkait kemungkinan banyaknya pelaku tindak pidana korupsi di antara 1.115 orang tersebut. Ia khawatir keputusan ini dapat menormalisasi korupsi di mata masyarakat, yang bisa menganggap korupsi sebagai tindakan yang “ringan” karena pada akhirnya mendapat pengampunan.
“Jika ternyata 1.115 orang tersebut sebagian besar adalah pelaku tindak pidana korupsi, saya sangat prihatin,” ujar Trisno mengutip laman UMY, Sabtu (2/8/2025).
Trisno juga menyoroti proses pemberian amnesti yang dianggap tergesa-gesa dan kurang transparan. Ia mempertanyakan bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa menyetujui keputusan ini dalam waktu yang sangat singkat.
“Dibicarakan pada tanggal 30 (Juli), dan pada tanggal 31 sudah ada keputusan. Kita tidak tahu bagaimana sebenarnya DPR bisa menyepakati hal ini,” jelasnya.
Menurutnya, pemberian amnesti dan abolisi adalah langkah politik yang memerlukan dasar hukum yang jelas. Sayangnya, Indonesia belum memiliki undang-undang komprehensif yang mengatur hal tersebut. Aturan yang ada sering merujuk pada undang-undang lama yang seharusnya hanya berlaku pada masa revolusi Kemerdekaan.
Hal lain yang turut menjadi perhatian Trisno adalah perbedaan perlakuan hukum antara Hasto dan Tom Lembong. Ia menjelaskan, amnesti diberikan untuk kasus yang sudah diputuskan bersalah, sementara abolisi menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.
“Kenapa Hasto diberikan amnesti, sedangkan Tom Lembong diberikan abolisi?” tanyanya.
Trisno menduga pemberian amnesti kepada Hasto tidak lepas dari kasus Harun Masiku yang masih menjadi buronan.
“Jika ini dianggap tidak ada, lalu semua sudah diampuni, maka perbuatan-perbuatan turunan yang terkait, seperti masalah Harun Masiku, bisa menjadi hilang begitu saja,” ungkapnya.
Trisno pun menekankan pentingnya pengembalian KPK ke marwah aslinya sebagai lembaga yang independen dan kuat, tanpa intervensi politik, sehingga penerapan hukum tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak tebang pilih, dan tepat sasaran.
“Pengembalian KPK ke bentuk semula adalah hal yang sangat penting untuk menegaskan bahwa tidak ada lagi intervensi politik,” ujar Trisno.
Ia menyerukan kepada pemangku kebijakan untuk memperkuat dan mengembalikan fungsi KPK seperti sebelum 1999. Jika penegakan hukum dilakukan oleh KPK yang bersih, menurutnya Indonesia akan menjadi negara yang lebih bersih dan dapat menyejahterakan masyarakat.
Keputusan ini, menurut Trisno, menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusannya dalam memberantas korupsi. Jika tidak, ia khawatir korupsi akan semakin dianggap lumrah dan semakin sulit diberantas di masa depan.