YOGYAKARTA, POPULI.ID – Ribuan massa mahasiswa yang tergabung dalam Forum BEM DIY bersama dengan sejumlah elemen masyarakat menggelar unjuk rasa bertajuk Indonesia Gelap di kawasan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer, Kamis (20/2/2025).
Poin mendasar yang disuarakan kelompok massa tersebut soal kebijakan efisiensi anggaran yang dianggap kurang tepat sehingga berpotensi merugikan rakyat.
Para mahasiswa menuntut agar Presiden Prabowo mengoreksi kebijakan efisiensi anggaran yang memangkas anggaran pendidikan hingga kesehatan.
“Kami minta anggaran untuk pendidikan dan kesehatan dikembalikan seperti semestinya, jangan dipangkas,” tegas Koordinator Lapangan aksi Indonesia Gelap dari UIN Sunan Kalijaga, Derian.
Lebih jauh ia menyebut bahwa aksi Indonesia Gelap sebagai bentuk sentilan atas matinya nurani penguasa yang tak mendengar aspirasi masyarakat.
“Indonesia gelap ini sebagai gambaran atas sikap penguasa yang tak mempertimbangkan suara masyarakat dan hanya mendengar kepentingan tertentu. Dalam hal ini berkait MBG yang nyatanya dengan efisiensi anggaran telah mengesampingkan anggaran untuk pendidikan,” terangnya.
Tidak Semuanya Gelap
Sementara itu, mantan Menko Polhukam Mahfud MD punya pandangan lain terkait aksi Indonesia Gelap yang beberapa hari terakhir digaungkan banyak pihak.
Ia menilai tak semua kebijakan yang diambil pemerintahan Presiden Prabowo gelap. Menurutnya ada sejumlah kebijakan yang masih terang dan perlu diapresiasi.
Guru Besar Fakultas Hukum UII itu menyebut program MBG hingga efisiensi anggaran merupakan kebijakan yang perlu diapresiasi.
“Siapa yang bilang efisiensi itu jelek? Semenjak zaman Orba kita marah karena negara tak efisien lalu Reformasi juga keluar karena anggaran negara tak efisien,” ungkapnya.
Dengan mengutip temuan ekonom Sumitro Djojohadikusumo yang tak lain ayah Presiden Prabowo, dia menyebut tingkat inefisiensi kala itu mencapai 30 persen.
“Nah, sekarang itu mungkin melanjutkan temuan ayahnya Pak Prabowo, harus efisiensi kita lanjutkan. Kita hormati itu,” ujar Mahfud MD seusai menghadiri acara di UGM.
amun, Mahfud menegaskan bahwa penerapan efisiensi juga harus secara selektif sehingga tidak asal menyasar anggaran di sektor-sektor yang justru membutuhkan perhatian lebih besar.
“Tetapi harus dikritik. Kalau lalu bidang ini (asal dipotong) 10 persen, bidang ini 20 persen, bidang ini 60 persen. Nah, dipotong-potong gitu ‘kan kurang,” ujar dia.
Menurut Mahfud, kebijakan itu perlu menyasar pengeluaran negara yang tidak efisien seperti kickback dalam proyek, perjalanan dinas yang tidak penting, serta praktik flexing (pamer) di kalangan pejabat dengan memanfaatkan anggaran negara.
“Nah, saya kira itu harus diefisienkan, dan Pak Prabowo betul menurut saya,” tukasnya.