SLEMAN, POPULI.ID – Analis politik Arif Nurul Imam menilai maraknya kemunculan simbol One Piece merupakan bentuk kritik simbolik terhadap kebijakan pemerintah saat ini.
“Maraknya pengibaran bendera tersebut dalam beberapa bulan terakhir saya kira merupakan bentuk kritik terhadap pemerintah hari ini, yang oleh sebagian pihak dianggap belum bisa menjalankan janji kampanyenya,” ujarnya saat dihubungi populi.id, Kamis (7/8/2025).
Ia mencontohkan sejumlah persoalan yang menjadi sorotan masyarakat, seperti meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak langsung terhadap angka pengangguran.
Menurutnya, kemunculan simbol One Piece merupakan ekspresi yang tumbuh secara organik di tengah masyarakat, bukan hasil rekayasa atau gerakan yang terorganisir.
“Kalau saya mengamati dari data tracking di media sosial, fenomena ini organik. Artinya tidak didesain atau by design. Ada kesadaran dari sebagian masyarakat bahwa kondisi bangsa ini sedang tidak baik-baik saja,” ungkapnya.
Arif juga menyebut bahwa fenomena semacam ini bukan hal baru. Sebelumnya, sempat muncul tagar seperti #KaburAjaDulu serta penyebutan Indonesia sebagai “negeri Konoha” yang juga merupakan bentuk satire atau kritik terhadap situasi nasional.
Terkait adanya wacana pelarangan penggunaan simbol-simbol seperti bendera One Piece oleh pemerintah pusat maupun daerah, Arif menilai langkah tersebut kurang tepat.
“Saya kira pemerintah tidak perlu reaktif terhadap maraknya fenomena ini. Yang seharusnya dilakukan adalah menangkap makna dari fenomena protes simbolik ini dan memberikan solusi atas keresahan masyarakat,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa respons pemerintah terhadap fenomena ini akan menentukan apakah ekspresi semacam itu akan terus berlanjut atau mereda.
“Kalau banyak kebijakan yang tidak pro rakyat, tentu protes-protes semacam ini akan terus bergulir. Tetapi jika pemerintah responsif dan peka, protes semacam ini intensitasnya akan menurun,” ungkap Arif.
Bukan Makar
Sebelumnya melalui rilis yang disebarluaskan melalui amnesty.id, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebut adanya cawe-cawe aparat dan pemerintah terkait kemunculan simbol One Piece sebagai hal yang berlebihan.
“Respons pemerintah dan aparat menyikapi fenomena pengibaran bendera One Piece di masyarakat jelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, apalagi yang disertai dengan ancaman pidana, sangatlah berlebihan. Mengibarkan bendera One Piece sebagai medium penyampaian kritik merupakan bagian dari hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh Konstitusi dan berbagai instrumen internasional lainnya yang telah diratifikasi Republik Indonesia.
Ekspresi damai lewat pengibaran bendera bukanlah makar, apalagi upaya pecah belah bangsa. Represi melalui razia atau penyitaan bendera One Piece di masyarakat seperti yang terjadi di Tuban serta penghapusan mural One Piece di Sragen jelas merupakan suatu bentuk perampasan kebebasan berekspresi yang bertujuan mengintimidasi dan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Negara tidak boleh anti terhadap kritik.
Alih-alih merepresi kebebasan berpendapat melalui razia, pemerintah seharusnya lebih fokus menyelesaikan akar penyebab dari keresahan masyarakat sehingga memilih mengibarkan bendera One Piece.
Pemerintah sebaiknya tidak anti-kritik dan harus berhenti memberi pernyataan yang berlebihan terhadap fenomena kebebasan berekspresi di masyarakat, apalagi disertai dengan ancaman sanksi pidana. Aparat harus melihat fenomena ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Sebagai Negara Pihak berbagai instrumen HAM internasional termasuk ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Indonesia berkewajiban melindungi serta menyediakan ruang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara damai.
Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur di Pasal 19 ICCPR berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan, termasuk informasi dan gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah. Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan membiarkan — apalagi berperan dalam — pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara.”