SLEMAN,POPULI.ID – Salak pondoh, buah khas dari Kabupaten Sleman, justru mulai kehilangan pamor di pasar lokal. Di tingkat petani, harganya hanya dihargai sekitar Rp 1.500 per kilogram.
Ironisnya, saat diekspor ke luar negeri, harga buah endemik Sleman ini melonjak hingga Rp 7.000 per kilogram.
Kondisi ini membuat para petani lebih memilih memasarkan salak pondoh ke luar negeri.
Permintaan dari pasar ekspor sangat tinggi, bahkan melebihi kapasitas produksi para petani di Sleman.
Hal ini diungkapkan Endang Setia Murni, petani salak pondoh dari Kalurahan Girikerto, Kapanewon Turi, yang juga menjabat sebagai Ketua Komunitas Perlindungan Indikasi Geografis Salak Pondoh Sleman (KPIG-SPS).
Endang bersama Kelompok Tani Kusuma Mulya yang dipimpinnya telah mengekspor salak pondoh ke China sejak tahun 2010.
“Hingga sekarang ekspor masih berjalan. Kebutuhan pasar sekitar 50 ton per minggu, tetapi kami hanya mampu memenuhi sekitar 30 ton,” ujar Endang yang juga mengelola Wisata Petik Salak Organik Kusuma Mulya, Kamis (10/4/2024) kemarin.
Selain ke China, Kelompok Tani Kusuma Mulya juga mengirimkan salak pondoh ke Kamboja dan Rusia. Namun tingginya permintaan ini tidak diimbangi dengan kemampuan produksi yang memadai.
Menurut Endang, keterbatasan produksi disebabkan oleh sejumlah kendala, terutama dalam hal pemupukan dan pengendalian hama.
“Pupuk masih menjadi masalah utama. Banyak petani hanya mengandalkan daun dan dahan yang dicacah sebagai pupuk, padahal untuk menghasilkan buah berkualitas ekspor dibutuhkan pupuk kandang atau pupuk yang lebih baik,” jelasnya.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah serangan lalat buah. Dalam beberapa tahun terakhir, hama ini kerap menyerang tanaman salak dan menyebabkan buah cepat busuk, sehingga gagal memenuhi standar ekspor.
Keluhan serupa disampaikan Suji Waluyo, Ketua Kelompok Tani Sidomakmur dari Dusun Wonosari, Kalurahan Bangunkerto, Kapanewon Turi.
Kelompoknya yang beranggotakan 26 petani juga rutin mengekspor salak pondoh ke luar negeri. Luas kebun salak yang sudah teregister mencapai sekitar 1,8 hektare.
“Rata-rata tiap petani memiliki lahan 1.000 hingga 2.000 meter persegi. Dari kebun seluas 625 meter persegi, bisa diperoleh keuntungan bersih sekitar Rp 4 juta sekali panen,” ujar Suji.
Dengan peluang besar dari pasar ekspor, para petani berharap ada perhatian serius dari pemerintah.
Mereka berharap ada solusi terkait persoalan keterbatasan pupuk, serta pendampingan teknis pengendalian hama agar produksi salak pondoh bisa meningkat dan permintaan luar negeri terpenuhi secara optimal.