POPULI.ID – Istilah ‘matahari kembar’ sering muncul dalam dunia politik, termasuk menjadi isu yang mencuat dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang baru berjalan beberapa bulan.
Istilah ‘matahari kembar’ kembali menggema buntut kunjungan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih ke kediaman Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Solo.
Namun pihak istana membantah adanya ‘matahari kembar’ di pemerintahan Prabowo Subianto. Istana menganggap kunjungan menteri tersebut adalah hal wajar, sebagai bentuk silaturahmi dalam suasana Lebaran.
Lantas apa sebenarnya makna ‘matahari kembar’ dalam politik?
‘Matahari kembar’ adalah metafora yang menggambarkan dua tokoh kuat dalam lingkup yang sama, namun memiliki tujuan yang berbeda sehingga memberikan dampak buruk.
Sebagai gambaran agar lebih jelas, hanya ada satu matahari yang menjadi pusat tata surya, jika ada dua matahari malah menimbulkan benturan gravitasi dan mengacaukan sistem yang ada.
Dalam konteks politik, ‘matahari kembar’ bisa terjadi ketika ada dua tokoh kuat (misalnya ketua umum dan tokoh senior lain) yang sama-sama punya pengaruh besar dan visi berbeda, dan keduanya tidak mau mengalah atau saling mendominasi.
Tak pelak, situasi tersebut bisa mengakibatkan konflik internal, perpecahan antar anggota partai, ketidakjelasan arah kebijakan hingga melemahkan kepercayaan publik.
Bukan hal yang ideal untuk menyatukan dua pemimpin yang memiliki ego kepemimpinan tinggi dan rasa persaingan dalam lingkup politik yang sama seperti partai, organisasi atau pemerintahan.
Fenomena ‘matahari kembar’ sempat disebut-sebut ketika menggambarkan situasi kepemimpinan Partai Demokrat pada 2013 silam.
Kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi, sedangkan Anas Urbaningrum menduduki kursi Ketua Umum Partai Demokrat.
Baik SBY maupun Anas dinilai memiliki kekuasaan yang sama-sama kuat di partai berlambang Mercy. Ketegangan internal pun muncul, setelah Anas Urbaningrum tersandung kasus korupsi proyek Hambalang.
Penulis: Yunita Ajeng Raharjo