SLEMAN, POPULI.ID – Kuasa hukum Muhammad Taufik, Andhika Dian Prasetyo, menyampaikan alasan pihaknya mengajukan permohonan intervensi dalam sidang lanjutan gugatan perdata terkait keabsahan ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo, di Pengadilan Negeri (PN) Sleman.
Menurut Andhika, intervensi diajukan karena adanya kesamaan kepentingan dengan penggugat utama, Kamardin.
“Jadi begini, kami pada hari ini mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim. Sesuai dengan hukum acara perdata, kami mengajukan intervensi sebagai pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam perkara ini,” kata Andhika kepada wartawan usai persidangan, Rabu (28/5/2025).
Andhika menjelaskan bahwa Muhammad Taufik saat ini tengah berada di luar negeri dan tidak dapat hadir secara langsung dalam sidang.
“Pak Muhammad Taufik sedang ada kegiatan di luar negeri. Sepertinya beliau sedang mencarikan sekolah untuk anaknya. Jadi saya hadir sebagai kuasa hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Andhika menegaskan bahwa pihaknya menggugat perkara serupa di Pengadilan Negeri Surakarta, namun sejumlah fakta dan pihak yang tidak digugat di Solo justru muncul dalam perkara di Sleman.
“Di Solo kami memang fokus, tapi ada beberapa hal yang tidak kami gugat di PN Solo. Sementara di sini, Pak Komardin menggugat pihak-pihak yang tidak kami sebut, seperti Pak Kasmudjo. Nah, informasi-informasi yang muncul di sini bisa saling melengkapi dengan gugatan kami di Surakarta,” jelasnya.
Menurutnya, kehadiran nama Kasmudjo menjadi salah satu alasan penting pihaknya mengikuti jalannya persidangan di Sleman.
Ia menyebut bahwa ada ketidaksesuaian antara pernyataan Presiden Jokowi dan Kasmudjo terkait peran akademik yang bersangkutan.
“Pak Jokowi menyatakan bahwa Pak Kasmudjo adalah pembimbing akademik. Tapi saat diwawancarai, Pak Kasmudjo bilang dirinya saat itu hanya asisten pusat. Ini kan simpang siur. Fakta-fakta seperti ini harus diuji di persidangan,” tegas Andhika.
Terkait pernyataan Mabes Polri yang menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli, Andhika menyatakan pihaknya menghormati, namun tidak serta-merta menerima begitu saja.
“Respon kami dari penggugat di Solo, kami menghormati pernyataan Mabes Polri. Tapi kami juga tidak tinggal diam. Karena menurut press release mereka, pembandingan ijazah itu dilakukan dengan milik teman-teman Pak Jokowi sendiri,” kata Andhika.
Ia mengutip pernyataan seorang jenderal purnawirawan, Susno Duadji, bahwa ijazah tidak mungkin identik karena tiap nama dan detail lainnya pasti berbeda.
“Yang perlu dicatat, kata Pak Susno Duadji, setiap ijazah tidak mungkin identik. Kecuali barangnya benar-benar sama persis. Nah, kalau ada yang bilang identik, kami anggap itu justru jadi tanda tanya,” ujarnya.
Andhika juga mengkritik langkah Bareskrim Mabes Polri yang menurutnya telah melampaui kewenangan institusi hukum lainnya.
“Bareskrim seakan memborong semua peran seperti kejaksaan dilangkahi, pengadilan dilangkahi, bahkan pengacara pun dianggap tidak perlu.
Padahal, seharusnya yang menyatakan asli atau tidak itu ya pengadilan, bukan lembaga penyelidik,” ujarnya tajam.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa pihaknya tetap menghormati institusi kepolisian.
“Mabes Polri adalah lembaga yang mengayomi masyarakat. Tapi masyarakat juga punya hak untuk mengkritik dan bahkan tidak percaya terhadap hasil penyelidikan, apalagi kalau tidak disertai uji pembuktian di pengadilan,” katanya.
Andhika berharap Majelis Hakim PN Sleman dapat mengakomodasi permohonan intervensi tersebut.
“Yang kami harapkan, kami punya kepentingan yang sama, dan inilah yang seharusnya bisa diakomodasi oleh sistem peradilan kita,” pungkasnya.