KONAWE, POPULI.ID – Keluhan sejumlah transmigran asal Kabupaten Sleman yang terjebak konflik tanah di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, direspons cepat oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman.
Bupati Sleman, Harda Kiswaya, beserta jajaran berjumlah 17 orang plus anggota DPR RI Daerah Pemilihan DIY dari PAN, Totok Daryanto, pada 17 Juni 2025 lalu terbang menuju Kabupaten Konawe Selatan untuk mengetahui lebih detail permasalahan yang menimpa para transmigran asal Bumi Sembada.
Sehari setelah mendarat di Kabupaten Konawe, Harda Kiswaya bersama Totok Daryanto menggelar dialog dengan transmigran asal Kabupaten Sleman yang ditempatkan di Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Arongo, Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto Barat.
Setelah itu, Harda Kiswaya beserta rombongan mengadakan pertemuan dengan jajaran Pemkab Konawe Selatan untuk menemukan solusi terkait permasalahan yang menimpa para transmigran asal Kabupaten Sleman.
“Kehadiran kami ke Konawe Selatan, disamping silaturahmi, juga untuk duduk bersama, saling melindungi masyarakat, terkhusus para transmigran. Persoalan yang ada bukan soal tanggung jawab siapa, tapi menjadi komitmen Pemkab Konawe Selatan dan daerah asal para transmigran,” jelas Harda Kiswaya saat melakukan pertemuan dengan jajaran Pemkab Konawe Selatan, sebagaimana informasi yang diterima populi.id, Kamis (19/6/2025) pagi.

Dalam pertemuan tersebut, Harda Kiswaya menegaskan komitmen Pemkab Sleman untuk melayani dan melindungi warganya.
“Lebih dari itu, apa yang diupayakan ini merupakan bentuk komitmen kami dalam melayani, melindungi, serta menyejahterakan masyarakat, terkhusus warga Kabupaten Sleman,” imbuhnya.
Asal tahu saja, 25 kepala keluarga yang mengikuti program transmigrasi ke Kabupaten Konawe Selatan mengalami nasib miris.
Harapan para korban Erupsi Merapi 2010 tersebut untuk mendapatkan kehidupan lebih baik di tanah rantau justru hidup dalam ketidakpastian.
Lahan usaha seluas dua hektare yang sempat dijanjikan oleh Pemkab Konawe Selatan hingga kini urung mereka terima.
Padahal, jatah lahan beserta sertifikat telah tercantum dalam nota kesepahaman antar-pemerintah daerah untuk warga korban erupsi Merapi asal Kabupaten Sleman yang mengikuti program transmigrasi ke Kabupaten Konawe Selatan.
Fakta tersebut diungkap oleh Totok Daryanto ketika melakukan sosialisasi kebijakan biomassa di Kabupaten Konawe Selatan pada Mei 2025 lalu.
Ia menyebut, warga yang ditempatkan di UPT Arongo baru menerima satu hektare lahan dari yang seharusnya dua hektare.
“Kami menerima informasi ada konflik lahan yang tengah dihadapi oleh warga Kabupaten Sleman di Kabupaten Konawe Selatan. Mereka baru menerima satu hektare dari dua hektare yang dijanjikan oleh pemerintah setempat,” terangnya kepada awak media.

Totok melanjutkan, di kawasan penempatan transmigrasi tersebut, pemerintah semula menjanjikan 1.500 hektare lahan kepada penerima manfaat lahan sejumlah total 500 kepala keluarga.
Namun, hingga 2025, lahan yang diterima baru seluas 312 hektare.
Dari luasan itu, sebanyak 250 hektare dialokasikan bagi warga transmigran luar daerah, sementara 52 hektare untuk warga lokal.
Konflik terkait lahan di area transmigrasi mulai pelik manakala warga berebut lahan dengan perusahaan sawit PT Merbau Jaya Indah pada 2015.
Gegara konfik dengan perusahaan sawit tersebut, sebanyak 40 hektare lahan jatah transmigran digusur sepihak tanpa proses musyawarah.
“Akibatnya, lahan garapan warga menyusut sekitar 272 hektare. Kondisi pun dilaporkan semakin panas saat penggusuran kembali terjadi pada periode Agustus hingga Desember 2023,” jelas Totok merujuk laporan para transmigran.
Totok mengemukakan, para transmigran asal Kabupaten Sleman meminta advokasi dari pemerintah daerah, baik Pemda DIY maupun Pemkab Sleman.
“Kami sudah melaporkan situasi ini ke pemerintah pusat agar segera diselesaikan. Sebab, problem ini berpotensi bahaya bilamana benar terjadi sesuai yang dikeluhkan oleh para transmigran, yakni dugaan sabotase program pemerintah. Orang pun bakal takut bertransmigrasi,” jelasnya.