POPULI.ID – Istilah Raja Jawa belakangan ini kembali mencuat dalam perbincangan publik, terutama setelah disinggung dalam konteks politik.
Ungkapan ini menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama mengenai asal-usul dari istilah ini. Berikut adalah rangkuman informasinya.
Sejarah Istilah Raja Jawa
Masa keemasan konsep Raja Jawa kemungkinan besar terjadi pada era Majapahit. Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, mencakup sebagian besar Nusantara.
Dalam sumber-sumber primer Jawa, wilayah kerajaan Majapahit sering disebut sebagai bhumi Jawa (tanah Jawa) atau yava-dvipa-maṇḍala (negara pulau Jawa).
Raja-raja Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai patihnya, memiliki pengaruh yang sangat besar di Pulau Jawa.
Penggunaan istilah bhumi Jawa untuk merujuk pada wilayah kekuasaan Majapahit, menunjukkan bahwa para penguasanya dianggap sebagai kekuatan utama di pulau tersebut.
Beberapa tokoh penting dalam sejarah Jawa secara spesifik dapat diasosiasikan dengan konsep atau sebutan Raja Jawa, meskipun gelar formal mereka mungkin berbeda.
Ratu Sanjaya sebagai pendiri Mataram Kuno meletakkan dasar bagi kerajaan-kerajaan besar di Jawa Tengah. Airlangga, yang memerintah Kahuripan setelah keruntuhan Mataram Kuno di Jawa Timur, berhasil menyatukan kembali wilayah tersebut.
Pada masa Kediri, Raja Jayabaya dikenal dengan ramalannya dan kekuasaannya yang meluas. Kertanegara dari Singasari memiliki ambisi untuk menyatukan Nusantara.
Namun, tokoh yang paling kuat diasosiasikan dengan konsep Raja Jawa adalah Hayam Wuruk dari Majapahit, yang memimpin kerajaan pada puncak kejayaannya dan menguasai sebagian besar Pulau Jawa.
Selain itu, pada periode Islam, Sultan Agung dari Mataram Islam juga dikenal sebagai penguasa yang sangat berkuasa dan memiliki pengaruh besar di Jawa.
Bahkan, Gajah Jawa pada masa lalu menjadi simbol kekuasaan dan kejayaan raja-raja Jawa, termasuk pada masa Hindu-Buddha. Kekuatan mistis juga sering dikaitkan dengan raja-raja Jawa, seperti yang dipercaya dimiliki oleh Sultan Agung.
Gelar Raja Jawa dalam konteks masa lalu memiliki makna dan implikasi yang mendalam dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Secara politik, konsep seorang penguasa tunggal di Jawa mencerminkan aspirasi untuk persatuan dan sentralisasi kekuasaan.
Raja dipandang sebagai pusat kekuasaan dan memiliki legitimasi yang kuat, sering kali dikaitkan dengan konsep Dewaraja atau Cakravartin.
Dalam tatanan sosial, raja menduduki posisi tertinggi dan menjadi figur sentral dalam masyarakat Jawa. Kepatuhan dan kesetiaan rakyat kepada raja dianggap sebagai kewajiban yang luhur.
Secara budaya, konsep Raja Jawa kaya akan simbolisme. Raja tidak hanya sekadar penguasa duniawi, tetapi juga perwujudan kekuasaan Ilahi yang menjaga keseimbangan kosmos. Ide tentang Manunggaling Kawula Gusti juga menjadi landasan penting dalam pemahaman tentang peran raja dalam budaya Jawa.
Konsep Raja Jawa dapat dibandingkan dengan gelar-gelar penguasa lain yang pernah ada di Nusantara.
Setelah masuknya Islam, gelar Sultan menjadi umum digunakan di berbagai kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak dan Mataram Islam.
Di berbagai daerah lain di Nusantara, terdapat gelar-gelar seperti Datu, Raja, atau nama-nama lokal lainnya.
Pergeseran gelar dari raja menjadi sultan atau susuhunan menunjukkan adanya perubahan konteks politik dan budaya, terutama setelah Islam menjadi agama dominan di Jawa.
Meskipun demikian, istilah Raja Jawa seolah-olah melampaui batas-batas formal gelar dan merujuk pada penguasa yang dianggap memiliki otoritas tertinggi dan pengaruh yang signifikan di seluruh Pulau Jawa.
Secara historis, istilah ini digunakan untuk merujuk pada penguasa-penguasa Jawa pada masa lalu, terutama dalam diskusi mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa.
Namun, dalam konteks modern, istilah ini sering kali digunakan secara simbolis atau metaforis untuk menggambarkan individu yang memiliki pengaruh besar dalam politik atau masyarakat Indonesia, terutama jika mereka berasal dari Jawa.
Contohnya, pada masa kolonial Belanda, HOS Tjokroaminoto dijuluki sebagai “Raja Jawa tanpa mahkota” karena pengaruhnya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Baru-baru ini, istilah ini kembali mencuat dalam diskursus politik, meskipun maknanya masih diperdebatkan dan sering dianggap sebagai candaan politik atau kiasan untuk kekuasaan yang terpusat.
Meskipun para sejarawan berpendapat bahwa istilah Raja Jawa tidak memiliki dasar historis yang kuat sebagai gelar formal , penggunaannya di masa kini menunjukkan bahwa konsep tentang adanya figur sentral yang berpengaruh di Jawa masih relevan dalam imajinasi publik.