SLEMAN, POPULI.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru berjalan dalam beberapa bulan terakhir menuai beragam sorotan.
Di tengah semangat membantu pemenuhan gizi masyarakat, program ini juga diwarnai sejumlah catatan, mulai dari kasus keracunan makanan hingga vendor penyedia yang belum menerima pembayaran di sejumlah daerah.
Meski pelaksanaannya belum sempurna, Pakar Gizi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Dr. Toto Sudargo, SKM., M.Kes., menilai bahwa program MBG memiliki potensi besar dalam menekan angka stunting di Indonesia, asalkan dijalankan secara tepat sasaran dan profesional.
“Program ini sangat layak didukung. Namun, kuncinya adalah penargetan yang tepat, terutama kepada kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan remaja putri,” ujar Toto dilansir dari ugm.ac.id, Rabu (7/5/2024)
Ia menambahkan, pemenuhan gizi bagi remaja putri menjadi sangat penting karena mereka kelak akan menjadi ibu. Jika kebutuhan gizi mereka terpenuhi sejak dini, risiko anemia saat kehamilan bisa ditekan.
“Remaja putri bisa dijangkau lewat sekolah, sedangkan ibu hamil dan menyusui bisa melalui kerja sama dengan posyandu,” jelasnya.
Toto juga menekankan bahwa makanan yang diberikan dalam program MBG setidaknya harus memenuhi sepertiga kebutuhan gizi harian, terutama asupan protein.
“Protein adalah faktor utama pertumbuhan. Selama ini yang terpenuhi baru karbohidrat, padahal protein sangat krusial,” paparnya.
Lebih dari sekadar kuantitas, Toto mengingatkan pentingnya kualitas makanan dan penerimaan anak-anak terhadap menu yang disajikan.
“Jangan hanya lihat volumenya. Lebih baik porsinya kecil tapi habis dimakan, daripada banyak tapi tersisa,” katanya.
Untuk mengatasi kebiasaan anak-anak yang kerap pilih-pilih makanan, ia menyarankan agar menu dibuat lebih menarik dan mengikuti selera kekinian.
“Misalnya dibuat bola-bola daging atau makanan kecil yang disukai anak-anak. Kreativitas menu itu penting,” sarannya.
Agar program berjalan maksimal, keterlibatan tenaga ahli gizi dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan juga dinilai krusial.
Toto mengingatkan agar urusan penyusunan menu tidak diserahkan kepada orang yang bukan ahli di bidangnya.
“Ahli gizi paham bagaimana menyusun makanan dari bahan mentah sampai layak konsumsi. Ini tidak bisa dianggap sepele,” tegasnya.
Ia juga menyarankan pendekatan desentralisasi hingga tingkat desa agar pengawasan dan pelaksanaan program lebih terpantau.
Menutup pernyataannya, Toto mengajak semua pihak memberi kesempatan bagi program ini untuk berkembang.
“Jangan buru-buru menghakimi. Program ini harus terus dievaluasi dan disempurnakan. Insya Allah, dalam satu atau dua tahun, hasilnya bisa kita rasakan. Ini adalah investasi untuk menyiapkan generasi sehat di masa depan,” tutupnya.